Rongkong



RONGKONG
A.    ADAT DAN KEBUDAYAAN RONGKONG
Rongkong adalah salah satu wilayah kecamatan yang berada di dataran tinggi yang letaknya berada di Kabupaten Luwu Utara, dimana suhunya cukup dingin. Sebutan Rongkong berasal dari kata “Marongko”  dimana makna dari marongko adalah rahmat atau anugerah. Hal ini terlihat dari kekayaan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat Rongkong. Tana Msakke’ atau Lipu Marinding merupakan julukan Tanah Rongkong yang artinya tanah sejuk, damai, dan tentram. Masyarakat adat Rongkong telah berada di wilayah tana luwu, sejak abat ketiga, jauh sebelum hadirnya zaman Sawerigading di tana Luwu.
Pada mulanya, orang-orang di Rongkong dipimpin oleh To Makaka (ketua adat) dan masyarakat Rongkong beragama suku (Khalaik) dan Pemimpin Agama Suku disebut “To Siajak” (orang yang membawa kedamaian dan kerukunan).  dan pekerjaan mereka sebagai Petani. Adapun tanaman yang di tanam ialah tanaman jangka pendek yang meliputi: padi, jagung, kacang-kacangan dan sayur-sayuran. Sedangkan tanaman jangka panjang ialah: kopi. Rumah tempat tinggal masyarakat sangat jauh dari sawah, sehingga rumah tempat tinggal mereka sering ditinggalkan dan kosong. Saat musim panen tiba, masyarakat Rongkong menggunakan alat khusus yang disebut “Baka” untuk membawa hasil panen. Bagi kaum perempuan, mereka menaruh tali baka di kepalanya untuk membawa baka yang berisi hasil panen sedangkan kaum laki-laki menggunakan alat pikul yang terbuat dari kayu untuk membawa baka. Pesta panen juga dirayakan saat masyarakat selesai memanen.
Budaya di Rongkong sangat kental serta kesenian beraneka ragam (titipan leluhur). Gotongroyong juga merupakan adat dan budaya Rongkong. Rongkong juga mempunyai baju adat (tenunan adat), Namun kondisi tenunan adat Rongkong ini terancam punah karma para pengrajinnya yang masih hidup tinggal di hitung jari dan itupun semuanya sudah berusia lanjut (Lansia). Tenunan Adat Rongkong mempunyai ciri khas budaya masyarakat rongkong yang sejak turun temurun yang dikenal baik dalam negri maupun mancanegara, cikal bakal tenunan adat Rongkong adalah “Tannun Tang Mangka” yang turut di jelmakan bersama “Tomanurun” sebagai lambang kebesaranya. Bahan bakunya dari kapas alam sendangkan bahan pewarna dan pengawet dari tumbuhan alam dan alat tenun masi tradisional yang di buat dari kayu dan bambu.
a.      Kesenian di Rongkong
Tarian Pajjaga merupakan tarian yang hanya digunakan pada saat pesta panen, mabua kalebu, dan pesta pernikahan. Tarian ini tidak digunakan pada saat pesta kematian.
Katendon-tendon merupakan tarian simbolis asal Rongkong, gerakan menari dan bernyanyi dari atas kebawa dan dari bawa keatas menggambarkan kesamaan derajat kaum bangsawan dengan masyarakat Rongkong. tarian ini di gunakan saat acara adat Mabua kalebu dan acara adat lainnya yang ada di Rongkong.
Ma’Genton adalah kesenian  music yang dipadukan dengan tarian adat suku rongkong. Alat musik yang digunakan adalah Issong Jawa (berbentuk perahu) dan Aluk (penumbuk padi) yang diketukkan kea rah issong jawa dengan selang waktu yang berbeda sehingga menghasilkan bunyi yang menarik dan berirama. Tarian ini hanya digunakan pada saat pesta adat Tammuan Allo (pesta panen).
Ma’bas adalah kesenian musik yang terbuat dari bamboo dan dengan beragam bentuk, tergantung dari nada.
b.      Struktur Pangandaraan Rongkong (Dewan Adat)
1.      Dewan adat
-          Tomakaka Rongkong: pemangku adat yang bertanggung jawab di dalam dan diluar Rongkong
-          Tomakaka mangngura Rongkong sisamba: ketua pemuda
-          Tomakaka tidandan: mempunyai wilayah tertentu yang mengkoordinir Mata Tondok dan Pondang Padang di wilayah (local) dan bertanggung jawab kepada tomakaka Lompo.
-          Matua tondok: menjadi pelaksana utama daerah daerah tertentu yang bertanggung jawab kepada Tomakaka Rongkong melalui koordinasi Tomakaka Tidandan di wilayah hukum masing-masing.
2.      Pondan Padang (perangkat adat tiap-tiap dusun)
-          Tosiaja: membidangi sritual
-          Poangarong: membidangi pertanian
-          Lantek padang : membidangi prhubungan
3.      Perangkat adat (tdk masuk pangandaran. Dewan adat)
-          Pongkalu: membidangi kehewanan
-          Uragi: membidangi urusan pemakaman
-          To ma’kada-kada: khusus membawakan mantera (doa) pada pesta kematian Tomakaka atau pemangku adat
-          To matulea: membawakan mantera (doa) pada acara pelanggaran adat
-          Pande (besi dan Rumah): membidangi peralatan tani dan bangunan
c.       Hukum Adat (sa’pa)
1.      Sa’pa tondok: yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan ekosistem
2.      Sa’pa mengguririk: yang mengatur hubungan sesama manusia
3.      Sa’pa puang: yang mengatur manusia dengan Tuhan (kepercayaan)
4.      Sa’pa tanah: yang mengatur tindakan criminal
5.      Sa’pa parodo: khusus untuk pelestarian dan pemanfaatan hutan.
B.     PERISTIWA DI TANAH RONGKONG
a.      Sejarah Pekabaran Injil (awal mula masuknya kristen) di Wilayah Rongkong
Pada tahun 1927 misionaris pertama Ds. Harm Jan Van Weerden (dari belanda) dating di Toraja bersama dengan istrinya. Mereka melaksanakan tugas pelayanan untuk mengabarkan Injil keselamatan. Setahun kemudian (1928), ia mulai menjelajahi daerah Rongkong dan Seko yang ditempatkannya sebagai tempat untuk melaksanakan pekabaran injil. Ia kemudian mempelajari adat istiadat, bahasa, kebudayaan dan kepercayaan dari penduduk setempat, serta mempelajari kondisi alam dari daerah pelayanannya.
Pada tahun 1931, ia membuat Rumah Seratus Jendela di Salutallang (daerah perbukitan di Rongkong) rumah ini sangat besar dan banyak jendelanya. Rumah ini juga berfungsi sebagai poliklinik untuk mengobati orang-orang sakit, serta sebagai tempat pendidikan putra-putri Rongkong. Ia juga mengambil alih penyelenggaraan sekolah-sekolah lancap (sekolah pemerintahan pada zaman belanda) menjadi sekolah-sekolah Kristen yang bersubsidi. Ia juga membuka sekolah-sekolah swasta di tempat-tempat yang belum ada sekolahnya. Guru-guru di sekolah ini juga mengabarkan injil bersama guru Injil dan Pendeta. Karna itu, pekabaran Injil di Rongkong-Seko hampir merata.
Pelayanan misionaris pertama ini sangat disenangi di Rongkong-Seko. Namun, perubahan politik karena pecahnya Perang Dunia ke-2 menyebabkan  Ds. Harm Jan Van Weerden dan sekeluarga harus meninggalkan Indonesia (1942) atas perintah penguasa Jepang. Kurang lebih  setahun kemudian, Ds. Piter Sangka’ Palisungan menjadi misionaris ke-2 di Rongkong-Seko sekaligus juga menjadi Pendeta pertama orang Toraja dan menjadi Gembala sidang di Rongkong. “sebelumnya (pada tanggal 26 Oktober 1941), Ia ditahbiskan bersama T.S Lande’, dan J. Tappi’ menjadi Pendeta (yang di tahbiskan oleh Zending) untuk menggantikan Zending setelah Perang Dunia ke-2 pecah”.
Ds. Piter Sangka’ Palisungan diutus oleh Pendeta Jepang Ds. Susho Mijahera (tahun 1943) untuk melayani jemaat-jemaat di Rongkong-Seko menggantikan Pendeta Zet Tawalujan yang sudah di mutasi ke Palopo bersama Guru Injil Lumeno sampai tahun 1953 (tahun ketika para martir di tangan penguasa DI/TII). “Ia juga mulai menetap dan tinggal di Rumah Seratus Jendela bersama keluarganya saat pengutusannya”.
Ds. Piter Sangka’ Palisungan melayani 5 Klasis yaitu:
1.      Klasis Seko Lemo: Jemaat Baroppa’ dengan cabang kebaktian Buakayu, Jemaat Kariango, Jemat Lantang Tedong, Jemaat Pohoneang, Jemaat Ambolong, dan Calon Jemaat Ba’ba-ba’ba dan Harjane.
2.      Klasis Seko Padang: Jemaat Wono dengan Cabang kebaktian Tanete, Jemaat Bengke, Jemaat Lodang, Jemaat Singkalong, Jemaat Kalamio’ dan Jemaat Busak.
3.      Klasis Ulusalu: Jemaat Limbong, Jemaat Salutallang, Jemaat Ambona Ponglegen, Jemaat Uri’ Banalu, Jemaat Mangenan Kawalean, Jemaat Komba Palawean, dan Cabang Kebaktian Salurante, Jemaat Lawarang dan Jemaat Buntubai.
4.      Klasis Kanandede: Jemaat Kanandede, Jemaat Eki, Jemaat Nase, Jemaat Salukanan, Jemaat Pontattu’, Jemaat Tanete Lagia, dan Cabang Kebaktian Dango.
5.      Klasis Masamba: Jemaat Masamba, Jemaat Mariri, Jemaat Tabuan, Jemaat Uraso, Jemaat Bone-Bone dan Jemaat Lampuawa.
(Klasis ini di sahkan dalam Sidang Partikulir Sinode Pertama tahun 1936).
b.      Sejarah Masuknya Agama Islam dan Sejarah Pembabtisan Massal di Wilayah Rongkong
Ketika semua orang yang masih beragama Suku di Rongkong-Seko diperintahkan oleh Tentara Keamanan Rakyat untuk memilih Salah satu dari Agama, yaitu Islam atau Kristen. Kesempatan memberikan pilihan  diberikan dari bulan Juli sampai bulan Agustus pada tahun 1952. Hasilnya adalah: di Rongkong 60% yang beragama Suku memilih masuk Agama Kristen, sedangkan 40% masuk Agama Islam. Di Seko 80% yang beragama Suku masuk ke Agama Kristen sedangkan 20%  memilih masuk Agama Islam. Sejak saat itu tidak ada lagi Agama Suku di Wilayah Rongkong-Seko dan toleransi beragama saat itu sangat tinggi.
Pada tahun 1952 diadakan babtisan missal terhadap ribuan orang yang baru masuk Kristen di daerah Rongkong-Seko. Babtisan missal dilaksanakan oleh Ds. Piter Sangka’ Palisungan dan Ds. Marthen Geleijnsen (tenaga Zendeling yang bertugas d Mamasa). Sejak saat itu jumlah orang Kristen semakin bertambah di Rongkong-Seko, sehingga ibadah hari Minggu diadakan dua kali di setiap jemaat. Gedung-gedung gereja diusahakan untuk diperbesar.
c.       Pembantaian Agama Kristen di Wilayah Rongkong dan Riwayat Ds. Piter Sangka’ Palisungan
Namun pada saat itu sukacita dan pertambahan jemaat tidak bertahan lama. Pihak pemberontak (Abdul Kahar Muzakkar) sangat marah dan dendam melihat kenyataan itu karna tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan mereka. Pada tanggal 17 Agustus 1953 di Makkalua’ Badjo’, Abdul Kahar Muzakkar memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia. Sejak saat itu nama TKR di ubah menjadi (DII/TII). Dan pada saat itu juga terjadilah penyiksaan terhadap orang-orang Kristen. Pada saat itu juga banyak orang meninggalkan Rongkong. Namun Ds. Piter Sangka’ Palisungan tidak mau meninggalkan Rongkong-Seko karna ia mempunyai pendirian yang tidak mau meninggalkan jemaat yang masih bertahan di Rongkong-Seko.
Suatu malam Pada akhir Juli 1953, Ds. Piter Sangka’ Palisungan diculik oleh  Gerombolan DI/TII, ia bersama 100 orang pemuka Agama Kristen dibawa ke  markas besar  DI/TII di daerah Waelawi, Cappa’ Solo’, Kabupaten Luwu’. Pada saat itu juga orang-orang yang beragama Kristen di Wilayah Rongkong-Seko dipaksa masuk Islam dan hukum Islam pada saat itu diberlakukan bagi semua penduduk.
Ds. Piter Sangka’ Palisungan bersama dengan dua orang guru jemaat (H. Djima’ dan L. Sodu) memilih mati dibunuh daripada menyangkal Tuhan Yesus yang telah diterimanya sebagai Juruselamat satu-satunya. Akhirnya mereka mati di tangan penguasa DI/TII di Capa’ Solo. Di Rongkong di sebua sekolah, ada seorang Wanita yang masih muda yang diikat di tiang yang ada di tengah lapangan, yang di tembak mati oleh Gerombolan DI/TII karna kata orang wanita itu berzina.
Pada bulan oktober 1953, datanglah Gerombolan membawa sepucuk surat (yang diketik)  kepada Damaris Upa (istri Ds. Piter Sangka’ Palisungan) yang menyatakan bahwa Ds. Piter Sangka’ Palisungan masih hidup dan ia ada di Markas DI/TII menunggu kedatangan keluarganya serta meminta uang, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukannya. Tapi istrinya tidak percaya akan surat itu meskipun ada tanda tangan suaminya, karna setelah dibawa oleh Gerombolan, Piter Sangka’ Palisungan menulis surat dengan tulisan tangan yang berisi bahwa ia tidak akan kembali lagi dan menasehati Damaris Upa (istrinya)  untuk menjaga anak-anaknya.
Bulan September 1953, di Pohoneang (Seko), ada juga delapan pemuda di tahan karna imannya. Namun pada persidangan, dua diantaranya di bebaskan karna bersedia menyangkal imannya, yang enam di jatuhkan hukuman mati termasuk P. Panuda (siswa SMP Palopo). Sejak peristiwa itu orang Seko mulai mengungsi ke Utara atau ke Barat.
Karna sudah tersebarnya pengusiran keluarga Ds. Piter Sangka’ Palisungan dari rumah seratus jendela maka Damaris Upa bersama anak-anaknya meninggalkan rumah itu yang di bantu oleh warga Rongkong-Seko. Setelah itu mereka mendapat kabar bahwa Rumah Seratus Jendela Itu sudah dibakar oleh Gerombolan DI/TII.
Pada bulan Desember 1966, makam misioner ke-2 (Ds. Piter Sangka’ Palisungan) dan dua orang temannya sudah ditemukan, informasi ini di dapatkan dari seorang nelayan yang bernama Lasuppu’ (penduduk asli Cappa’ Solo’, kec Malangke) yang tahu lokasi kuburan mereka karena ia hadir pada saat mereka di eksekusi mati oleh Gerombolan DI/TII dan ia juga yang menimbun mereka agar mayatnya tidak dimakan binatang, ia juga menanami pohon di atas timbunan kuburan mereka. Rombongan Orang-orang bersama keluarga menyiapkan tiga peti dan pergi mengambil mayat tersebut (sisa tulang), kemudian tulang-tulang tersebut di bersihkan dan memasukkannya kedalam peti. Ketiga peti tersebut di usung oleh pemuda-pemuda Kristen di sabbang menuju gereja Toraja di sabbang dan diadakan ibadah bersama, peti jenazah martir Ds. Piter Sangka’ Palisungan di teruskan ke Palopo dan disambut oleh jemaat setempat, dan diusung oleh para pendeta dan pastor menuju Gereja Toraja  di palopo. Ds. Piter Sangka’ Palisungan di makamkan di tempat kelahirannya di Nonongan, Kadundung dalam patane keluarga yang sudah disiapkannya sebelum berangkat ke Rongkong-Seko.[1]


[1] Lembe’, Hermin dan Sangka’. RUMAH SERATUS JENDELA (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007)

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Rongkong"

  1. Referensinya dari mana dapat ya?

    ReplyDelete
  2. Dari ulasan sejarahnya ada beberapa poin menarik yang penting untuk di jadikan bahan diskusi.

    Contoh misalnya, jika kita hubungkan dengan sentimen fasis masyarakat Indonesia terhadap kulit putih " bangsa Belanda"

    ReplyDelete