perubahan karakter pada orang dewasa di Gereja Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Anak merupakan anugerah terbesar yang diberikan
Tuhan dalam hubungan perkawinan. Tanpa kehadiran anak keluarga merasa ada yang
kurang. Sering orangtua katakan bahwa anak adalah penghilang lelah ketika harus
bekerja seharian di luar rumah, penyemangat hidup, menjadi kebanggaan orangtua,
permata hati, menjadi pewaris nilai dan juga pewaris harta kekayaan keluarga
dan harapan masa depan keluarga. Begitu
penting kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Anak memiliki peran penting dalam
keluarga menjadi pewaris keluarga.
Dalam keluarga orangtua dan anak memiliki hubungan
timbal balik yakni anak memerlukan didikan dari orangtua dan orangtua memiliki
harapan bahwa anaknya dapat bertumbuh menjadi anak yang baik dan menjadi
kebanggaan orangtua. Para ahli psikologi dan pendidikan anak pada umumnya
menyatakan bahwa lingkungan agen yang paling banyak mempengaruhi pembentukan
watak, iman dan tata nilai adalah keluarga asal.[1]
Pembentukan indentitas diri anak tergantung pada pendidikan yang diterima dalam
keluarga asal.
Orangtua memiliki peran untuk mengasuh/ merawat dan
mendidik anak-anak karena itu adalah perintah Tuhan bagi setiap orang yang percaya
kepadaNya. Mengasuh anak membutuhkan waktu dan usaha serta pikiran, apa yang
harus dilakukan agar anak dapat bertumbuh dengan baik. Anak dapat bertumbuh
dengan baik tergantung pada cara orangtua mengasuh anak-anaknya. Untuk itu
orangtua berusaha menerapkan pola asuh dengan baik agar anak dapat bertumbuh
dan berkembang dengan baik. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perlakuan
orangtua terhadap anak semasa kecil akan berdampak pada pertumbuhan di usia
dewasa anak. Ketika mau melihat anak bagaimana kelak lihatlah perkembangan yang
dilakukan setiap hari. Keluarga asal akan memberi pengaruh pada perkembangan
karakter yang berdampak pada indentitas diri anak.
Proses-proses perkembangan yang terjadi dalam diri
seorang anak ditambah dengan apa yang dialami dan diterima selama masa
anak-anaknya, sedikit demi sedikit memungkinkan ia tumbuh dan berkembang
menjadi manusia dewasa.[2]
Manusia dewasa yang lebih baik yang dapat diandalkan dan menjadi kebanggaan
orangtua, masyarakat, serta gereja dimana ia berada. Inilah yang menjadi
harapan setiap orangtua agar anaknya menjadi lebih baik dari mereka sehingga
berusaha membentuk, mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik yang menguras
tenaga dan pikiran.
Dewasa ini sering ditemukan tindakan kriminal atau
perilaku-perilaku yang menyimpang baik melalui media-media apa saja, yang tentunya
berbeda dengan apa yang diharapkan. Sebagian pelakunya adalah orang yang dewasa
seperti kasus pergaulan bebas yang mengakibatkan kepribadian seseorang berubah
yakni perilaku, sikap dan karakter anak. Dalam hal ini orangtua berperan
penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak khususnya cara orangtua
mendidik anaknya dan juga lingkungan dimana anak berada. Dalam keluarga pertama
kali akan dilakukan pembentukan akan identitas diri anak melalui cara orangtua
membesarkan anak sehingga melalui berbagai pola asuh yang diterapkan akan
membentuk karakter dalam diri anak. Pembentukan karakter tidak hanya dalam
lingkungan keluarga saja tetapi juga di lingkungan sekitar anak tinggal. Untuk
itu selain dalam keluarga lingkungan diluar keluarga pun akan turut mempengaruhi
akan pembentukan karakter anak.
Fakta empiris khususnya dalam konteks Jemaat Elim
Baebunta menunjukkan bahwa ada kasus seorang anak pada masa kecilnya memiliki
karakter yang baik. Pada masa usia balita sampai remaja anak ini dikenal anak
yang rajin, suka membantu orangtuanya, mendengarkan setiap apa yang dikatakan
orangtua tidak pernah melawan ketika diperintah, anaknya sopan santun baik
kepada orangtua maupun orang lain dan rajin ke sekolah minggu setiap hari
minggunya. Orangtua sangat senang melihatnya anak menjadi anak yang taat dan
suka membantu orangtua. Orangtua yakin bahwa kelak kalau sudah dewasa anak ini
akan menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan menghormati orangtua.
Akan tetapi
karakter yang telah terbentuk sejak masa kecil sampai dewasa berubah menjadi
karakter yang buruk. Semenjak usia anak ini sudah dewasa, dia menjadi anak yang
tidak lagi mendengar nasehat orangtua, tidak nyaman lagi tinggal di rumah, lebih
merasa senang dan nyaman kumpul bersama-sama teman-temannya daripada harus
tinggal di rumah membantu orangtua bekerja, menjadi perokok dan suka
minum-minum keras serta jarang sekali ikut dalam persekutuan dan pergi ke
gereja setiap hari minggu. Setelah bekerja uang yang diperoleh digunakan untuk
bersenang-senang bersama teman-temannya.
Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian
akan “Studi Kasus tentang Perubahan Karakter pada Orang Dewasa di Jemaat Elim
Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
pokok permasalahan; bagaimana perubahan karakter pada orang dewasa di Gereja
Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang
ingin dicapai penulis yaitu untuk menjelaskan perubahan karakter pada orang
dewasa di Gereja Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta.
D.
Manfaat
Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka penulis
berharap tulisan ini dapat bermanfaat:
a. Skripsi
ini kiranya dapat memberikan informasi pemikiran bagi lembaga Sekolah Tinggi
Agama Kristen khususnya dalam mata kuliah PAK Anak dan Remaja dan PAK Dewasa
khususnya dalam perkembangan anak.
b. Skripsi
ini dapat menambah wawasan kepada penulis sebagai calon guru Pendidikan Agama
Kristen dalam melihat karakter anak.
c. Sebagai
bahan masukan bagi orangtua bahwa pembentukan karakter anak dibentuk dalam
keluarga.
d. Sebagai
masukan bagi gereja bahwa pembentukan karakter dimulai dalam keluarga dan juga lingkungan
tempat tinggal anak bertumbuh.
E.
Sistematika
Penelitian
Dengan memperhatikan rumusan masalah dan tujuan
penelitian di atas, maka sistematika akan disusun sebagai berikut:
BAB
1: Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB
II: Kajian Teori
Pada
bagian ini akan berisi tinjauan pustaka mengenai karakter usia dewasa: karakter
dan kepribadian, karakter usia dewasa, pola asuh anak, pandangan Alkitab, dan faktor-faktor
penyebab perubahan karakter.
BAB
III: Metodologi Penelitian
Berisi
tentang jenis penelitian, teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara
dan dokumentasi, informan dan teknik analisis data.
BAB IV: Pemaparan Hasil Penelitian
Pada bab ini berisi pemaparan hasil
penelitian dan pembahasan.
BAB
V: Penutup
Bab ini
berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Karakter Usia Dewasa
1.
Karakter
dan Kepribadian
Menurut buku
Dani Setiawan yang dikutip oleh Agus Wibowo dan Hamrin dalam buku yang berjudul
menjadi guru yang berkarakter ialah akar kata “karakter” ini, jika kita lacak
kata karakter dalam bahasa Latin, yaitu “kharakter,” “kharassein,” dan “kharax,”
yang bermakna “tools for marking,” “to engrave,” dan “pointed stake.” Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa
Prancis sebagai “caractere” pada abad
ke-14. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi “character.”
Selanjutnya dalam bahasa Indonesia kata “character”
ini menjadi “karakter”.[3]
Secara
etimologis kata “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso (=cetak biru, format dasar, sidik seperti dalam sidik
jari). Dalam tradisi Yahudi, para tertua melihat alam (laut) sebagai sebuah
karakter. Artinya sebagai sesuatu yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia,
mrusut seperti menangjap asap. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat
dikuasai oleh intervensi manusiawi seperti ganasnya laut dengan gelombang
pasang dan angin yang menyertainya.[4]
Tergantung pada lingkungan di mana anak bertumbuh dan berkembang.
Pendapat
beberapa para ahli mengenai karakter ialah:[5]
a. Menurut
Thomas Lickon, karakter itu merupakan sifat alami seseorang dalam merespon
situasi secara bermoral.
b. Menurut
Ki Hajar Dewantara, memandang karakter itu sebagai watak atau budi pekerti.
Sebagai sifatnya manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai
tenaga.
c. Menurut
Suyanto, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas
tiap individu untuk hidup bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara.
d. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Menurut Musfiroh karakter itu sebenarnya
berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“to mark” atau menandai dan
memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan itu dalam bentuk tindakan
dan tingkah laku.
e. Menurut
Rizal, karakter seseorang itu pada dasarnya sulit diubah. Namun demikian,
lingkungan dapat menguatkan atau memperlemah karakter tersebut.
f. Menurut
Kemendiknas, karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (virtues), yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang berpikir, bersikap,
dan bertindak.
Dari defenisi para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa karakter merupakan sesuatu yang alami terjadi dalam kehidupan setiap
orang yang melekat pada diri seseorang sehingga menjadi sifat dan tingkah laku
yang membentuk kepribadian seseorang yang terbentuk dari lingkungan di mana
seseorang bertumbuh.
Karakter
terbentuk dari pendidikan awal yang diterima seseorang dari keluarganya dan
juga oleh lingkungan di mana ia dibesarkan akan turut mempengaruhi pembentukan
karakter seseorang. Karakter ialah yang melekat pada diri seseorang. Pertanyaan
bahwa bisakah karakter itu diubah? Karakter bisa saja berubah sesuai dengan apa
yang diterima seseorang sejak kecil dan lingkungan seseorang berada. Karakter
baik dan buruk yang dimiliki seseorang itu tergantung dari pendidikan awal yang
diterima. Jika dari awal seseorang menerima pendidikan atau pola asuh yang
kasar maka seseorang akan bertumbuh menjadi pribadi yang kasar dan sebaliknya
jika seseorang dibesarkan dengan kasih sayang, lemah lembut dan disiplin maka
karakter ia pun akan lemah lembut, disiplin dan memiliki kasih sayang. Karakter
terbentuk dari cara seseorang dididik dan dimana seseorang bertumbuh dan
berkembang.
Karakter dan
kepribadian merupakan dua istilah yang hampir sama tetapi memiliki perbedaan.
Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan.
Setiap orang yang memiliki kepribadian pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan
dalam aspek kehidupan sosial dan kehidupan pribadi. Secara umum kepribadian
manusia ada empat, yaitu Koleris, Sanguinis, Phlegmatis, dan Melankolis.
Sedangkan yang disebut dengan karakter adalah saat manusia belajar untuk
mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif
yang baru. Misalnya, seseorang dengan kepribadian Sanguin, yang sangat suka
bercanda dan terkesan tidak serius. Sadar dan belajar sehingga mampu membawa
dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan
perhatian fokus itulah yang disebut karakter.[6]
Menurut Allport
dalam membedakan karakter dan kepribadian, ia berpendapat bahwa secara
tradiosonal kata watak (karakter) mengisyaratkan norma tingkahlaku tertentu
atas dasar mana individu dan perbuatannya dinilai. Dan dalam menggambarkan
watak individu, kata baik dan buruk yang sering digunakan. Dengan demikian
watak sebagai kepribadian yang dapat dievaluasi (dinilai), sedangkan
kepribadian adalah watak yang tidak dapat dinilai.[7]
Artinya bahwa kepribadian tidak dapat dinilai tetapi watak atau karakter dapat
dinilai seseorang makanya muncul karakter baik dan karakter buruk.
Ketika membahas
tentang kepribadian seseorang dan diletakkan pada norma moral, pada penilaian
baik dan buruk, maka itu membahas tentang karakter. Karakter adalah perilaku
seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Proses pembentukan dan
perubahan karakter pada diri seseorang tergantung bagaimana cara seseorang
belajar dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Karakter dan
kepribadian adalah hal yang melekat pada diri manusia yang bisa dibentuk dan
berubah.
Hubungan
karakter dan kepribadian keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi.
Kepribadian yang ditunjukkan seseorang akan membentuk karakter seseorang. Misalnya
seseorang memiliki karakter kepribadian yang baik akan membentuk karakter yang
baik dan sebaliknya. Jika karakter mewarnai semua aktivitas yang dilakukan
seseorang, maka kepribadian adalah akibat dari semua aktivitas itu.[8]
Karena itu karakter dan kepribadian merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak
bisa terpisahkan. Setiap tingkahlaku yang ditunjukkan seseorang itulah yang
disebut karakter bak itu karakter baik maupun karakter yang buruk.
2.
Karakter
Usia Dewasa
Menurut Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia dewasa adalah sudah cukup umur, bisa membedakan baik
dan buruk, telah mencapai kematangan kelamin (tentang hewan); menunjukkan
keterangan waktu atau masa mutakhir.[9]
Usia dewasa berarti usia yang sudah bisa dikatakan matang. Manusia yang sudah
mampu berpikir dewasa tidak lagi berpikir seperti anak-anak. Pengertian dewasa
mengandung berbagai arti antara lain meliputi: kemampuan untuk berdiri sendiri,
menentukan tindakan sesuai dengan kedewasaannya dan melepaskan diri dari
ketergantungan dengan orang lain.[10]
Dewasa berarti mampu untuk berdiri sendiri dalam mengambil keputusan-keputusan
dalam kehidupannya tanpa harus bergantung pada orang, sudah mampu untuk hidup
mandiri. Orang dewasa dapat juga diartikan individu yang telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan
orang dewasa lainnya.[11]
Dalam
konteks masyarakat Indonesia orang dewasa ialah pribadi yang telah mencapai
usia 22 tahun ke atas. Secara kronologis ada tiga golongan manusia dewasa
yakni: (1) dewasa awal atau dewasa muda, yaitu mereka yang berusia 22-40 tahun.
(2) golongan dewasa menengah atau paruh baya, yaitu yang berusia antara 40-60
tahun. (3) golongan dewasa lanjut, yaitu mereka yang berusia 60 tahun ke atas.[12]
Seseorang dikatakan dewasa ketika sudah mencapai umur yang matang. Namun
terkadang juga umur seseorang sudah mencapai tingkat dewasa tetapi sikap dan
perilaku mereka tidak menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa.
Seseorang
dikatakan dewasa tidak hanya ditinjau dari segi umur saja tetapi juga dari segi
psikologi dan ciri biologis. Ciri-ciri psikologis orang dikatakan dewasa ialah
seseorang yang dapat mengarahkan diri sendiri, tidak selalu tergantung pada
orang lain, mau bertanggung jawab, mandiri, berani mengambil resiko dan mampu
mengambil keputusan serta ciri-ciri biologis seseorang dikatakan dewasa ialah
seseorang telah menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder.[13]
Melihat kedewasaan seseorang tidak hanya dilihat pada umur saja tetapi juga
melihat perubahan fisik serta sikap dan perilaku.
Usia dewasa
tergantung pada sikap dan perilaku yang ditunjukkan seseorang. Seseorang yang
mampu bertanggung jawab merupakan manusia dewasa yang matang, yang mampu
mengendalikan diri dari berbagai tantangan zaman.
Kedewasaan harus dipahami dari
berbagai aspek yakni aspek psikologis, sosiologis, cultural, ekonomis, dan
spiritual. Dewasa secara psikologis, artinya mapan dalam pemikiran atau cara
berpikir, bahkan daklam mengelola emosi seta dalam menyatakan sikap bijak
ketika mengambil keputusan. Dewasa secara sosiologis, maksudnya mampu
menempatkan diri dengan baik dalam relasi dengan komunitas tempatnya berada,
sekurang-kurangnya dalam lingkup keluarga. dewasa secara cultural, yaitu mampu
memahami dan melakukan peran menurut adat dan tradisi yang berlaku di dalam
masyarakat tempat orang dewasa itu bertumbuh. Dewasa secara ekonomis, yaitu
dalam arti mempunyai atau bahkan menciptakan pekerjaan sehingga bertanggung
jawab menghidupi diri sendiri dan keluarga. dewasa secara spiritual, yaitu
memiliki kemantapan rohani serta berkomitmen kepada Tuhan dan firmanNya, dengan
mengasihi Dia melalui totalitas kehidupan.[14]
Karakter usia dewasa merupakan suatu karakter yang
memiliki kematangan baik secara psikologis, maupun secara sosial dalam
lingkungan masyarakat. Orang dikatakan dewasa apabila mampu bertanggung jawab
terhadap diri sendiri dan mampu untuk mengendalikan diri terhadap lingkungan
tempat ia berada.
B. Pola Asuh Anak
Pola asuh berasal dari dua kata yakni pola atau cara
dan asuh ialah merawat. Pola asuh ialah bagaimana cara atau bentuk seseorang
dalam merawat anak-anak yang dianugerahkan bagi sebuah keluarga. Mengasuh juga
dapat berarti menjaga atas dasar kasih, yang di dalamnya ada kegiatan merawat,
mendidik, membantu, melatih, memimpin dan mengawasi.[15]
Mengasuh anak adalah tugas utama orangtua yang akan membentuk karakter anak. Pola
asuh atau parenting style adalah
salah satu faktor yang secara signifikan turut membentuk karakter anak.[16] Karakter
anak dibentuk sejak anak masih dini. Pembentukan karakter dimulai dari dalam
keluarga. Bagaimana orangtua mengasuh anaknya akan membentuk karakter anak.
Dari dalam keluarga pendidikan itu dimulai. Lingkungan keluarga adalah dunia
pendidikan yang paling utama dalam kehidupan anak dan orangtua ialah guru
pertama anak yang akan anak dengarkan, ditiru dan merasakan rasa aman. Rasa
aman dan nyaman dari orangtua akan sangat membantu dalam proses pengasuhan. Jadi,
pola asuh merupakan cara orangtua dalam merawat, mendidik, membimbing dan
memelihara anaknya agar dapat bertumbuh menjadi manusia dewasa yang dapat
menjadi teladan dan kebanggaan orangtua dan lingkungan dimana anak berada.
Anak merupakan anugerah dari Tuhan yang diberikan
kepada setiap orangtua. Merupakan titipan Allah bagi orangtua untuk dididik,
dijaga, dirawat dan dipelihara sehingga menghasilkan generasi penerus yang
dapat diandalkan di mana ia berada.
Dalam sebuah keluarga anak merupakan anggota
terkecil. Yang harus menaati dan menghormati orangtua. Tugas dan kewajiban anak
ialah taat kepada apa yang orangtua katakan.[17]
Anak berhak pula meminta kepada orangtua segala apa yang dibutuhkan misalnya
bersekolah. Ketika anak bersekolah kewajiban anak ialah belajar dengan baik dan
membahagiakan orangtua. Ketika anak berhasil orangtua pun akan turut dalam
kebahagian mereka. Anak ialah harapan dari orangtua yang akan menjadi pewaris
dalam keluarga. Anak merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
keluarga.
Dalam pola asuh ada tiga bentuk pola asuh anak yang
diterapkan orangtua dalam mengasuh anak-anak. Adapun tiga bentuk pola asuh anak
adalah sebagai berikut:
1.
Pola
Asuh Otoriter
Pola
asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara memaksa,
mengatur, dan bersifat keras. Ciri utama pola asuh otoriter adalah orangtua
membuat hampir semua keputusan. Orangtua yang mengatur anaknya, anak tunduk
sepenuhnya kepada orangtua. Apa yang dikatakan orangtua itu pula yang dilakukan
anak. Anak tidak bisa menolak dan tidak bisa mengatakan “tidak”. Apapun yang
dikatakan orangtua itulah yang harus dituruti anak. Ciri khas pola asuh
otoriter ini diantaranya:[18]
a. Kekuasaan
orangtua lebih dominan;
b. Anak
tidak diakui sebagai pribadi;
c. Kontrol
terhadap tingkah laku anak sangat ketat;
d. Orangtua
akan sering menghukum jika anak tidak patuh.
Dalam pola asuh ini anak ibarat robot yang
dikendalikan oleh sang pengendali yakni orangtuanya sendiri. Orangtua yang
memiliki pola asuh jenis ini berusaha membentuk, mengendalikan dan mengevaluasi
perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai
kepatuhan, menghormati, otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan
menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan
sering menerapkan hukuman.[19]
Hukuman yang tidak menimbulkan sebuah didikan terhadap anak.
Pola asuh yang lebih berpusat kepada apa yang
dikatakan orangtua, apa mau orangtua dan anak hanya sebagai alat yang digunakan
saja. Orangtua hanya memikirkan apa yang mereka inginkan tanpa melihat apa juga
yang dibutuhkan oleh anak. Kebebasan anak untuk bergerak sangat terbatas. Anak
tidak berhak memiliki pendapat dan bertindak sesuai keinginannya tetapi harus
sesuai dengan apa yang orangtua perintahkan karena jika tidak maka anak akan
mendapat hukuman, walaupun apa yang dikatakan orangtua itu salah anak harus
tetap melakukannya. Dalam pola asuh seperti ini anak membentuk anak yang tidak
percaya diri, penakut, tidak dapat mengambil keputusan sendiri, akan selalu
merasakan ketakutan, tidak mampu berpendapat, dan memiliki karakter yang keras
karena selalu menerima perlakuan yang keras dan kasar. Oleh karena itu, tipe
pola asuh ini haruslah dihindari karena dampak negatifnya sangat besar.
2.
Pola
Asuh Demokratis
Pola
asuh demokratis merupakan pola asuh yang saling bekerjasama antara anak dan
orangtua yang memiliki hubungan yang akrab. Orangtua tidak memaksakan kehendak
mereka namun melihat pula apa yang diinginkan anak mereka. Pola asuh ini,
orangtua memberikan kebebasan serta bimbingan kepada anak. Anak berkembang
secara wajar dan mampu berhubungan secara harmonis dengan orangtua. Hubungan
yang akrab dan harmonis dapat memberikan kedekatan batin yang sangat erat.
Orangtua akan merasakan apa yang dirasakan oleh anak begitupun sebaliknya
karena terbentuknya ikatan batin yang kuat dalam diri anak dan orangtua.
Sehingga proses tumbuh kembang anak berjalan dengan baik. Adapun ciri-ciri khas
pola asuh demokratis adalah sebagai berikut:[20]
a. Orangtua
senantiasa mendorong anak untuk membicarakan apa yang menjadi cita-cita,
harapan dan kebutuhan mereka;
b. Pada
pola asuh demokratis ada kerjasama yang harmonis antara orangtua dan anak;
c. Anak
diakui sebagai pribadi, sehingga segenap kelebihan dan potensi mendapat
dukungan serta dipupuk dengan baik;
d. Orangtua
akan membimbing dan mengarahkan anak-anak mereka;
e. Ada
kontrol dari orangtua yang tidak kaku.
Dari ciri-ciri
ini dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis dapat memberikan lebih banyak
dampak positif dalam pembentukan kepribadian anak karena anak akan bertumbuh
dengan baik ke arah yang lebih positif. Orangtua yang memberikan kebebasan
tetapi tetap pada control dan bimbingan agar anak mampu membedakan apa yang
baik dilakukan. Kedekatan orangtua dan anak dalam pola asuh ini akan semakin
menjadi akrab dan harmonis sehingga tidak ada batasan-batasan yang akan
membatas antara orangtua dan anak namun mereka saling terbuka satu sama lain
sehingga keharmonisan dalam keluarga tetap terjaga dengan baik. Pola asuh ini
sangat baik untuk diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.
3.
Pola
Asuh Permisif
Pola
asuh permisif ini hampir sama dengan demokratis tetapi dalam pola asuh ini
orangtua memberikan kebebasan kepada anak tetapi kurang peduli terhadap
perkembangan anak. Orangtua yang acuh kepada anaknya. Memberikan kebebasan
tetapi tidak mengontrolnya. Apa yang dilakukan anak orangtua sama sekali tidak
mempedulikannya, entah itu baik atau buruk yang dilakukan terserah kepada anak,
orangtua tidak mau tahu dan tidak peduli akan hal itu. Adapun ciri-ciri pola
asuh ini ialah sebagai berikut:[21]
a. Orangtua
memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat;
b. Dominasi
pada anak;
c. Sikap
longgar atau kebebasan dari orangtua;
d. Tidak
ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua;
e. Kontrol
dan perhatian orangtua terhadap anak sangat kurang, bahkan tidak ada.
f. Hanya
sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga. [22]
Pola
asuh yang membiarkan anak bertumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya kontrol
orangtua. Orangtua tidak ada waktu untuk mengontrol anak-anaknya, mereka sibuk
dengan pekerjaan masing-masing sehingga anak akan merasa kurang kasih sayang
dan perhatian dari orangtuanya. Anak akan bertindak semaunya dan tidak akan
pernah tahu apa yang dilakukan salah atau tidak. Mereka melakukannya sesuka
hati mereka. Sehingga dampak dari pola asuh ini anak bertindak sesuka hati,
tidak mampu mengendalikan diri, tingkat kesadaran mereka rendah, menganut pola
hidup bebas, selalu memaksakan kehendak, tidak dapat membedakan baik dan buruk,
kemampuan berkompetensi rendah, tidak mampu menghargai prestasi dan kerja
keras, mudah putus asa, sering kalah sebelum bertanding, miskin inisiatif dan
daya juang rendah, tidak produktif dan hidup konsumtif, dan kemampuan mengambil
keputusan rendah.[23]
Pola asuh permisif tidak baik untuk selalu diterapkan dalam pengasuhan
anak-anak karena akan menghasilkan anak yang tidak bertanggung jawab dan
memiliki keegoisan yang tinggi, karena memiliki kehendak bebas yang tidak
terkontrol dengan baik.
Jadi pola asuh
permisif merupakan model pola asuh yang memberikan kebebasan penuh kepada anak
tanpa adanya kontrol dari orangtua. Sehingga anak akan bertumbuh menjadi
pribadi yang tidak menerima teguran dan kritikan dari orang lain, akan
menganggap diri selalu benar, serta tidak dapat bertanggung jawab.
Sejak anak dalam kandungan, anak sudah mulai
mengalami pengasuhan melalui bagaimana orangtua sudah mulai merawat anak
melalui pola makan yang sehat dan bagaimana cara orangtua mulai berkomunikasi
dengan anak. Dalam kandungan anak sudah bisa mulai merasakan bagimana kasih
sayang orangtuanya bagi mereka. Perkembangan itu terus terjadi dalam kehidupan
anak. Kehidupan anak sejak kecil menentukan bagaimana anak dalam kehidupan
dewasanya. Karena usia dini adalah kunci pembentukan karakter saat usia dewasa
kelak. Orangtua berkewajiban mengawal anak-anak dengan mengasuh anak-anak,
menjadi teladan hidup, mendidik, mengajar, membimbing dan melatih mereka supaya
menjadi sehat dan dewasa secara rohani, jasmani, maupun secara ekonomi; supaya
mereka menjadi dewasa, mandiri dan takut akan Tuhan.[24]
Mempersiapkan anak untuk menghadapi masa dewasanya. Membentuknya mulai dari
masa kanak-kanak.
Membicarakan berbagai hal berkaitan dengan kehidupan
anak pada akhirnya bertujuan agar anak menjadi manusia dewasa yang matang.[25]
Manusia yang dapat dibanggakan dan menjadi manusia yang memiliki karakter yang
baik. Mempersiapkan anak untuk memiliki kepribadian yang baik harus
dipersiapkan sejak anak masih balita sampai pada dewasa. Pola asuh yang
dilakukan akan sangat mempengaruhi perkembangan anak.
Kegiatan mengasuh anak pada umumnya memiliki
landasan tujuan yang sama yaitu (1) memberikan landasan kehidupan keluarga pada
anak-anak, (2) agar kelak anak menjadi adaptif dalam menyisati kehidupan
mereka, (3) menanamkan sikap disiplin pada anak dan (4) membangun rasa percaya
diri.[26]
Dalam menanamkan dan menerapkan tujuan pengasuhan ini tidak mudah karena
banyaknya tantangan zaman yang harus dihadapi anak dan juga orangtua. Perubahan
dan perkembangan zaman akan turut mempengaruhi tumbuh kembang anak sehingga
dalam mengasuh anak harus sudah siap dengan tuntutan zaman.
Pola asuh yang diterapkan pada anak akan memberi
pengaruh pada usia dewasa anak. Bagaimana orangtua memperlakukan anak pada usia
dini akan memberi pengaruh pada usia dewasa anak. Orangtua model dalam
pembentukan kepribadian anak. Cara orangtua memperlakukan anak dan cara mereka
berperilaku akan tertanam dalam diri anak. Kepribadian seseorang bisa jadi
merupakan refleksi dari cara pengasuhan yaitu ketika seseorang dibesarkan
sebagai anak.[27]
Pola asuh apa yang digunakan oleh orangtua itu juga yang akan membentuk anak
menjadi suatu pribadi yang utuh. Tiap pola perilaku orangtua mempengaruhi
perilaku anak mereka melalui tiga cara utama: melalui perilaku mereka sendiri,
mereka berperan sebagai model peran untuk identifikasi dan mereka memilih
perilaku yang disetujui.[28]
Perilaku yang orangtua terapkan dalam lingkungan keluarga yang menjadi aturan
bagi anak-anak.
Pembentukan karakter dalam keluarga merupakan hal
yang tersulit yang harus orangtua tanamkan dalam diri anak. Menanamkan karakter
yang baik mulai sejak dini. Harapan setiap orangtua bahwa anak memiliki
karakter yang baik. Apalagi mengingat perubahan pola hidup yang terjadi saat
ini menegaskan bahwa karakter anak menjadi dasar yang harus diperkuat sehingga
anak dapat berkembang hidupnya dengan baik. Terutama sikap mental dan karakter
seperti apa yang perlu ditanamkan kepada anak-anak sebagai bekal nanti ketika
ia memasuki usia dewasa.[29]
Penanaman karakter pada usia dini sangat menentukan karakter anak pada usia
dewasa. Untuk itu, dalam pola asuh yang diberikan kepada anak haruslah
diperhatikan agar dapat membentuk karakter anak menjadi lebih baik. Pola asuh
yang diberikan sebagai penentu akan masa depan anak. Beberapa sikap mental
karakter yang harus ditanamkan kepada anak sejak di usia dini ialah kejujuran,
kedisiplinan, dan semangat.
Kejujuran mempersiapkan anak di usia dewasa memiliki
pribadi yang sportif, mau menerima kekalahan, dan mampu mengekspresikan apa
yang ia rasakan tanpa takut terhadap penilaian orang lain. Kedisiplinan
merupakan sikap mental untuk membentuk pribadi-pribadi yang selalu memiliki
komitmen dalam menjalankan suatu tindakan. Semangat mempersiapkan anak untuk
mampu menghadapi hal-hal yang sulit dalam hidupnya.[30]
Menanamkannya sejak dini sangatlah penting.
Kehidupan di luar lingkungan keluarga juga turut
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pembentukan kepribadian anak
akan terbentuk pula dalam lingkungan masyarakat dan teman sebaya anak. Itu pun
harus orangtua perhatikan karena selain dibentuk dalam keluarga lingkungan di
luar keluarga pun akan membentuk karakter anak. Selain dalam lingkungan
keluarga kehidupan pergaulan anak pun haruslah orangtua perhatikan agar anak
dapat bertumbuh dengan baik dan terarah sehingga pada usia dewasanya anak
menjadi pribadi yang baik yang disenangi oleh orang-orang disekitarnya.
C. Pandangan Alkitab
1.
Perjanjian
Lama
Dalam
Perjanjian Lama memberikan gambaran akan kehidupan dalam keluarga. Keluarga
yang menjadi pusat pendidikan terutama bagi anak-anak. Adanya perintah Allah
bagi umatNya untuk memperkenalkan Allah bagi generasi-generasi yang akan datang
agar mereka dapat mengenal siapa itu Tuhan Allah dalam kehidupan mereka.
Dalam
kitab Ulangan memberikan petunjuk cara membesarkan anak dalam sebuah keluarga.
Perintah Allah bagi umat-umatNya bangsa Israel. Ada dua bagian yang mengulang
petunjuk yang sama[31]
yakni Ulangan 6: 4-9 dan Ulangan 11: 18-19. Kedua bagian kitab Ulangan ini
memberikan potret orangtua sebagai pendidik dan pengajar. Bagaimana seharusnya
orangtua dalam mendidik dan mengajar anak dalam lingkungan keluarga berdasarkan
rencana Allah. Perintah Allah bagi umat Israel dan respon umat Allah. Inilah
yang disebut Shema oleh orang Yahudi,
kata pertama dalam bahasa Ibrani pada ayat 4.[32]
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu
Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (6: 4,5).
Dalam tradisi
Yudaisme Ul 6: 4 merupakan suatu perintah iman yang harus diucapkan tiap pagi
dan malam (bnd ayat 7).[33] Perintah
yang harus diulang-ulang yang memberikan makna bahwa perintah ini sangat
penting dan harus diajarkan dengan penuh kasih. Kasih yang sesungguhnya kepada
Allah. Dalam keluarga menerapkan kasih antar anggota sangatlah penting karena
merupakan perintah Allah bagi umatNya yang melambangkan pula ketaatan seseorang
kepada Allah.
Allah
mengaruniakan anak-anak kepada keluarga untuk diperhatikan, dirawat, dibesarkan
dan dididik. Inilah yang disebut tanggung jawab.[34]
Dalam Ulangan 6:7 ditegaskan demikian “….Haruslah engkau mengajarkannya
berulang-ulang……….Kepada anak-anakmu.” Memberikan pengajaran kepada anak-anak
secara berulang-ulang (berulang-ulang secara harfiah meruncingkannya atau
mempertajamnya).[35]
Hal yang selalu diulang-ulang akan tertanam baik dalam diri seseorang. Terutama
dalam kehidupan anak karena anak lebih cepat menangkap apabila hal itu
diulang-ulang maka akan selalu anak ingat dan mampu menerapkannya.
Kemudian
dikatakan membicarakannya apabila engkau duduk…Dalam perjalanan…Berbaring…….Bangun
menggambarkan seluruh aspek kehidupan. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan
manusia. Orangtua menjadi teladan bagi anak-anak. Sebaiknya setiap aktivitas
yang dilakukan oleh orangtua itu dilakukan untuk memberikan contoh bagi
anak-anak. Sifat dasar anak ialah suka meniru apa yang orang dewasa lakukan
terutama kedua orangtuanya. Yang akan menjadi lambang pada tangan, dahi, pintu
rumah dan pintu gerbang (Ul 6:8-9), sebuah simbolis hendaklah tora mengatur pergaulan di rumah tangga.[36]
Mendidik anak sesuai dan sejalan dengan perintah Allah. Mengarahkan anak pada
jalan yang Allah kehendaki sehingga anak bertumbuh di dalam pengenalan akan
Allah. Sehingga anak bertumbuh menjadi pribadi yang takut akan Tuhan.
Hal
ini ditegaskan dalam Amsal 22:6 mengatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan
yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari
pada jalan itu.” Ini adalah suatu perintah betapa pentingnya mendidik anak pada
masa mudanya. Tidak hanya sekedar menambahkan pengetahuan dan kemampuan tetapi
juga mengarahkan pada kehidupan yang benar. Hanya ada satu jalan yang benar
dalam kehidupan anak muda yaitu jalan hikmat yang akan membawa dia kepada
kehidupan yang benar, yang berkelimpahan secara kuantitas dan kualitas.[37] Ada
presentase yang tinggi dari anak-anak yang kembali pada prinsip-prinsip yang
dijalankan oleh orangtua mereka saat mereka beranjak dewasa.[38]
Mendidik anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Artinya bahwa ketika
mendidik anak pada masa kanak-kanak haruslah mendidik mereka sesuai dengan apa
yang mereka butuhkan maka mendidik mereka dengan baik pada masa muda mereka
maka akan membentuk karakter yang baik dalam kehidupan anak. Maka perlu adanya
sebuah pemahaman antara anak dan orangtua agar orangtua pun dapat memberikan
respon yang baik sehingga anak bertumbuh tidak menyimpang dari apa yang telah
dibentuk sejak masa mudanya.
Salah
satu contoh tokoh Alkitab yang mendidik anaknya tidak berhasil ialah kisah
keluarga Iman Eli (1 Samuel 2:11-26). Imam Eli memiliki dua anak laki-laki
yakni Hofni dan Pinehas. Keduanya melakukan kejahatan di mata Tuhan. Kedua anak
itu disebut oleh Alkitab sebagai orang-orang dursila.[39]
Mereka bersalah dalam dua hal yang membawa nama buruk pada mereka dan pada seluruh
keimaman yakni: (1) keserakahan (ay. 12-17) dan (2) perilaku seks yang tidak
bermoral (ay. 22).[40] Kejahatan
anak-anak Eli membuat mereka tidak disukai manusia dan Allah. Imam Eli sudah
menegur mereka supaya mereka memperbaiki kelakuan mereka tetapi mereka tidak mendengar
akibatnya hukuman pun jatuh pada diri mereka. Tetapi berbeda dengan Samuel, dia
bertumbuh menjadi pribadi yang baik. Dia disukai oleh manusia dan Allah karena
telah melakukan pelayanan dengan baik.[41]
Dari kisah Imam
Eli mau menunjukkan bahwa mendidik anak dengan tidak baik maka akan membawa
akibat yang buruk baik kepada anak maupun orangtua. Mendidik anak dengan baik
membuat sukacita dalam kehidupan keluarga karena anak bertumbuh menjadi anak
yang turut kepada orangtua serta taat kepada Allah dan menunjukkan sikap yang patut
untuk dibanggakan. Harapan setiap orangtua anak boleh bertumbuh dengan baik
disukai Allah dan juga manusia.
Dalam Amsal
29:15, 17 mengatakan, “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak
yang dibiarkan mempermalukan ibunya. Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan
ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu”. Seorang anak yang
dibiarkan mengambil keputusan sendiri pada akhirnya akan mendatangkan malu
terhadap keluarga. Mendidik anak dengan baik dengan membekali mereka dengan
alat mengemudikan perjalanan hidup mereka, kita dapat mempercayakan mereka
kepada Tuhan. Kehidupan anak akan mendatangkan sukacita dan memberikan damai
sejahtera bagi orangtua.[42]
Orangtua diperintahkan untuk mendidik anak dengan baik ketika anak bertumbuh
dengan baik maka akan mendatangkan sukacita pada kehidupan dalam keluarga. Membiarkan
anak tanpa anak tahu yang mana yang benar dan yang salah maka akan mendatangkan
keburukan bagi setiap anggota keluarga. Sangat perlu untuk mendisiplinkan anak
agar anak dapat bertumbuh dengan memiliki karakter yang baik dan mendatangkan
sukacita bagi keluarga.
2.
Perjanjian
Baru
Salah satu
contoh dari Perjanjian Baru yang patut diteladani dalam proses pola asuh anak
ialah keteladanan yang dilakukan oleh Yusuf dan Maria. Mereka menyerahkan Yesus
kepada Allah, sesuai peraturan yang berlaku pada masa itu (Luk. 2:21-40).
Mereka melakukannya bukan karena harus taat pada tradisi yang ada tetapi mereka
menyadari bahwa mereka hanya dipilih Allah untuk melahirkan Juruselamat.[43]
Membesarkan Yesus dengan penuh kasih sayang dan menyadari bahwa Yesus adalah
titipan dari Allah bagi mereka untuk dirawat, diajar dan dididik.
Yesus bertumbuh
menjadi pribadi yang taat dan menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Yesus
pun mengasihi dan menyayangi anak-anak. Ia tidak menolak setiap orang yang
datang kepadaNya termasuk anak-anak. Dalam Matius 19: 13-15 menceritakan bahwa
orangtua datang membawa anak-anaknya kepada Yesus. Yesus menyambut dan
memberkati anak-anak yang datang.[44]
Ibu-ibu di Palestina merasa bahwa sentuhan seseorang seperti itu pada kepala
anak-anak mereka akan memberi berkat sekalipun mereka tidak dapat mengerti
mengapa.[45]
Mengajarkan kepada anak-anak tentang Yesus sejak kecil walaupun mereka belum
tahu. Itulah yang menjadi tugas orangtua menyerahkan anaknya kepada Yesus
melalui doa-doa mereka. Yesus pun dalam mengajar memberikan teladan kepada
setiap orang, Ia tidak hanya berkata namun melakukan apa yang dikatakan.
Orangtua pun akan menjadi teladan bagi anak-anaknya karena orangtua yang selalu
anak lihat dan selalu bersama dengan anak sejak anak masih kecil.
Tokoh Alkitab
lain yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang ialah Timotius. Timotius adalah
seorang anak yang dibesarkan oleh ibu dan neneknya yang memberikan pengaruh
positif pada diri Timotius. Timotius dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
Paulus meyakini bahwa melalui pengaruh dari seorang ibu dan nenek yang saleh,
Timotius memiliki teladan yang dapat diikuti dan mendorong Timotius untuk
mengingat teladan yang ditinggalkan oleh para wanita ini dengan pengaruh yang
telah ditanamkan di dalam hidup mereka.[46] Timotius
diharapkan dapat menjadi teladan bagi semua orang dalam perkataan, tingkah laku,
kasih, kesetiaan, dam kesucian (1 Timotius 4:12).[47]
Sebuah contoh keberhasilan seorang ibu dan nenek dalam mengasuh dan mendidik
anaknya sehingga anaknya dapat bertumbuh menjadi pribadi yang dapat membawa
berkat bagi orang lain.
Dari contoh
kedua tokoh di atas memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya pengasuhan anak
itu dalam sebuah keluarga. orangtua yang menjadi pusat pendidikan dalam
keluarga. Mengasuh anak tidak hanya dengan perkataan saja melainkan lebih
kepada teladan yang ditanamkan dalam diri anak. Teladan yang ditunjukkan
orangtua sangat memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan anak.
Bagaimana anak kelak tergantung dari pola asuh yang orangtua berikan kepada
anak. Anak adalah generasi penerus maka persiapkanlah mereka dengan baik untuk
masa depan mereka yang lebih baik.
Dalam mengasuh
anak pun harus didasarkan pada kasih kepada mereka. Merawat anak dengan penuh
kasih bukan dengan amarah yang ada. Karena dengan kasih anak akan bertumbuh
dengan baik seperti kisah Timotius yang dirawat dengan penuh kasih sayang.
Tidak selalu memberikan anak hukuman karena hukuman dapat membangkitkan amarah
dalam hati anak. Dalam Efesus 6: 4 berbunyi “Dan kamu, bapa-bapa janganlah
bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka didalam
ajaran dan nasihat Tuhan.” Adanya suatu nasihat kepada Ayah untuk tidak
membangkitkan amarah dalam hati anak-anaknya. Mendisiplinkan anak tidak dengan
kekerasan, tuntutan tak beralasan keras, omelan dan hukuman yang konstan,
merendahkan anak pada sebuah penghinaan dan semua bentuk ketidakpekaan yang
besar pada kebutuhan dan perasaan seorang anak.[48]
Melainkan melainkan menjadi teladan yang patut anak contoh, tidak mengeluarkan
kata-kata kasar dan tindakan penghukuman yang berlebihan sehingga membangkitkan
amarah dalam hati anak sehingga anak bertumbuh dengan sebuah pemberontakan
tidak hormat pada orangtua dan orang-orang disekitarnya.
Untuk itu,
diberikan nasihat selanjutnya untuk mengajar mereka di dalam ajaran dan nasihat
Tuhan. Membesarkan anak menuju kepada pendewasaan, baik dewasa secara pikiran
terlebih dewasa dalam rohani. Membesarkan anak tidak hanya menjadi taat pada
otoritas mereka, tetapi bajwa melalui ajaran dan nasihat saleh ini anak-anak
mereka kan mengetahui dan mengenal Tuhan sendiri.[49]
Membesarkan anak tidak hanya membesarkan mereka secara fisik yang terlihat saja
tetapi yang lebih penting ialah mengarahkan mereka pada pengenalan akan Tuhan
sehingga mereka bertumbuh menjadi lebih dewasa secar fisik terlebih di dalam
iman kepada Tuhan. Ketika anak bertumbuh mengenal Tuhan maka mereka akan bertumbuh
lebih dewasa baik secara jasmani terlebih rohani mereka. inilah tugas orangtua
untuk bisa membesarkan anak menjadi pribadi yang dewasa secara jasmani dan
rohani.
D. Faktor-faktor Penyebab Perubahan
Karakter
Dalam
perkembangan karakter akan mengalami perubahan yang memungkinkan untuk menjadi
karakter yang baik tetapi juga mengalami perubahan karakter buruk. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sebagai
berikut:
1. Faktor
Internal
Faktor internal
adalah faktor dari dalam diri seseorang yang mempengaruhi kepribadian
seseorang. Salah satunya ialah kemauan. Kemauan ialah suatu fungsi jiwa untuk
dapat mencapai sesuatu yang merupakan kekuatan dari dalam dan tampak dari luar
sebagai gerak gerik.[50]
Adanya keinginan seseorang yang kuat dari dalam sehingga itu mempengaruhi dalam
perkembangan karakter. Kemauan atau kehendak yang kuat untuk mencoba segala
sesuatu yang awalnya hanya ingin tahu tetapi lama kelamaan akan menjadi suatu
kebiasaan yang memengaruhi karakter seseorang. Kemauan atau kehendak seseorang
yanga dilakukan akan menjadi suatu pengalaman.
Pengalaman hidup
yang dimiliki akan turut mempengaruhi perubahan akan karakter seseorang
sehingga pengalaman-pengalaman hidup yang sudah dirasakan memberikan pengaruh
yang besar dalam diri seseorang, entah itu pengalaman yang baik maupun
pengalaman yang buruk. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah
guru terbaik. Tetapi terkadang membuat orang terpuruk akan pengalaman buruk
yang dialami sehingga mengubah kehidupan seseorang.
Nilai
membentuk perilaku seseorang berdasarkan nilai yang diberikan oleh kelompok
dimana seseorang berada. Nilai yang membentuk kebersamaan yang membentuk
kekuatan dalam kepribadian seseorang. Sistem nilai yang dianut dalam sebuah
kelompok dimana seseorang berada turut mempengaruhi kepribadian seseorang
sehingga nilai-nlai yang ada dapat memberi pengaruh dalam perkembangan karakter
atau kepribadian seseorang dalam suatu lingkungan dimana seseorang berada.[51] Nilai
yang berkembang dalam masyarakat akan mempengaruhi karakter seseorang sehingga
itu yang akan melekat pada diri seseorang.
2. Faktor
Eksternal
Manusia adalah
makhluk social yang memungkinkan manusia harus berinteraksi dengan orang lain.
Interaksi dengan orang lain akan turut mempengaruhi karakter seseorang. Faktor
dari luar yaitu antara lain:
a. Keluarga
Peranan
lingkungan keluarga, terutama tingkahlaku dan sikap orangtua, sangat penting
bagi seorang anak, terlebih lagi pada tahun-tahun pertama dalam kehidupannya.[52]
Dalam lingkungan keluarga anak pertama kali menerima didikan dan pengajaran
dari orangtua. Orangtua sangat memiliki peran yang sangat penting dalam
pembentukan karakter anak. Cara orangtua mengasuh anaknya akan mempengaruhi
perkembangan dan pembentukan karakter itu. Dalam keluargalah anak lebih banyak
menghabiskan waktunya dari pada lingkungan di luar keluarga. Tak dapat
disangkal bahwa melalui keluargalah anak memperoleh bimbingan, pendidikan dan
pengarahan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kapasitasnya.[53]
Sebelum lingkungan luar yang mempengaruhi karakter anak dalam keluargalah sudah
dibentuk.
Karakter yang
telah terbentuk sejak kecil akan mengalami perubahan tergantung dari cara
orangtua memperlakukan anak pada saat usia dewasa anak dan hubungan harmonis
antar anggota keluarga dan teladan yang diberikan orangtua.
b. Pergaulan
Selain dalam
keluarga lingkungan pergaulan dimana anak dapat mendapatkan teman memiliki
pengaruh terhadap karakter anak. karakter yang telah terbentuk sejak kecil akan
mengalami perubahan tergantung siapa teman pergaulan anak. Teman atau sahabat
bagi seseorang memiliki peran yang penting dalam perkembangan kehidupannya
karena dengan memiliki teman seseorang terkadang mendapatkan kasih sayang dan
kebersamaan. Untuk dapat diterima dalam komunitas maka harus mengikuti budaya
yang ada sehingga anak dapat berubah karena teman pergaulannya yang memberikan
pengaruh pada dirinya.
c. Keberagaman
dalam lingkungan masyarakat
Budaya merujuk
pada pola perilaku, keyakinan dan semua hal yang dihasilkan dari sekelompok
orang tertentu yang diteruskan dari generasi ke generasi.[54]
Hal yang dihasilkan ini berasal dari interaksi antara kelompok-kelompok orang
dan lingkungan mereka berada. Budaya yang ada dalam suatu komunitas tentu
berbeda sehingga seseorang akan berusaha berinteraksi dengan menyesuaikan diri
dengan budaya yang ada. Dalam menerima budaya terkadang seseorang mengalami
tekanan untuk mengembangkan pola kepribadian yang sesuai dengan standar yang
ditentukan budayanya.
Kluckhon
berpendapat bahawa kebudayaan meregulasi (mengatur) kehidupan kita dari mulai
lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak.[55]
Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu dibuat
orang lain untuk kita. Memahami budaya yang ada dalam lingkungan tempat
seseorang berada merupakan salah satu factor yang mempengaruhi karakter
seseorang.
Manusia
merupakan makhluk social yang selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya.
Manusia tidak dapat hidup sendiri karena pada kodratnya manusia membutuhkan
orang lain demi kelangsungan dalam hidupnya. Lingkungan masyarakat dimana
seseorang tumbuh akan memberikan pengaruh terhadap tingkahlaku seseorang.
Nilai-nilai yang ada dalam lingkungan masyarakat setempat akan mempengaruhi
bagaimana seseorang bertingkah laku.
Dalam sebuah
masyarakat ada namanya norma sosial yakni aturan-aturan yang mengatur bagaimana
sebaiknya seseorang bertingkah laku. Manusia akan menyesuaikan diri dengan
lingkungan agar dapat bertahan hidup.[56] Salah
satu caranya ialah melakukan setiap aturan yang ada sehingga dapat diterima
dengan baik. Lingkungan dimana seseorang bertumbuh mengambil peran yang sangat
penting dalam perubahan karakter seseorang. Ini membuktikan bahwa lingkungan
memiliki peran yang sangat penting.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Dalam
penulisan ini, Sebagaimana jelas dalam sub judul, maka penulis akan menggunkan
metode penelitian studi kasus yang berciri kualitatif. Studi kasus adalah
‘proses mengkaji kasus” sekaligus “hasil dari proses pengkajian” terhadap
system atau masalah yang terbatas. Metode studi kasus mengenal tiga jenis
kajian (studi). Pertama, studi kasus intrinsic (intrinsiccasesstudy). Jenis ini
ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-kasus lain atau karena
menggambarkan sifat atau problem tertentu, namun karena dalam keseluruhan aspek
dan kesederhanaannya, kasus itu sendiri menarik minat. Kedua, studi kasus
instrumental (instrumental casesstudy). Jenis ini digunakan meneliti kasus
tertentu agar tersaji sebuah prespektif tentang isu atau perbaikan suatu teori.
Dalam hal ini, kasus tidak menjadi minat utama; kasus memainkan peranan
suportif, yang memudahkan pemahaman kita tentang suatu yang lain. Ketiga, studi
kasus kolektif (collectivecasestudy). Kajian ini lebih merupakan pengembangan
dari studi instrumental ke dalam beberapa kasus. Tujuannya mengantar peneliti
kepada pemahaman yang lebih dan bisa juga menjadi perumusan teori yang lebih
baik.[57]
Dari
ketiga jenis kajian ini maka penulis memilih menggunakan studi kasus intrinsic
dengan harapan kajian yang akan dikaji memberi hasil yang maksimal.
B.
Teknik
Pengumpulan Data
Dalam
pengumpulan data untuk memperkuat penelitian, penulis menggunakan teknik
wawancara secara langsung kepada informan yang akan dimintai keterangan atas
masalah-masalah dengan melakukan pendekatan interaksi.
Teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.[58]
Untuk mengumpulkan data ada beberapa cara yang dilakukan diantaranya:
a. Observasi
Observasi adalah
bagian yang sangat penting dalam penelitian. Observasi dilakukan untuk
mengumpulkan data dalam suatu penelitian dengan cara pengamatan. Menurut
Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang
kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan
psikologis.[59]
Peneliti melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dan berdasarkan
pengalaman peneliti. Observasi dilakukan untuk menjelaskan secara nyata masalah
yang didapati oleh peneliti di lapangan.
b. Wawancara
Wawancara adalah
teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan
keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan
orang yang dapat memberikan keterangan pada sipeneliti.[60]
Wawancara dilakukan untuk melengkapi hasil observasi. Wawancara dilakukan untuk
mengumpulkan informasi melalui percakapan langsung peneliti dengan narasumber
yang bersangkutan.
Dalam pengumpulan
data melalui wawancara ialah wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara
yang dilaksanakan tidak selalu berpatokan dengan pedoman yang ada, tetapi ada
hubungannya dengan apa yang diteliti. Peneliti menyiapkan daftar pertanyaan
yang akan diajukan kepada informan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi
adalah sebuah cara yang dilakukan untuk menyediakan dokumen-dokumen dengan
menggunakan bukti yang akurat dari pencatatan sumber-sumber informasi khusus
dari karangan/ tulisan, wasiat, buku, undang-undang, dan sebagainya.[61]
Penulis akan mengumpulkan beberapa informasi dari dokumen-dokumen gereja
seperti sejarah gereja, data-data jemaat dan data-data lainnya yang sehubungan
dengan yang teliti. Peneliti juga akan mengambil gambar atau foto-foto yang
diperlukan.
C.
Informan
Adapun informan pada penelitian ini adalah satu
keluarga yakni ibu dan bapak serta anak usia dewasa yang mengalami perubahan
karakter orang dewasa yang berdomisili di jemaat Elim Baebunta.
D.
Teknik
Analisis Data
Analisis data
kualitatif merupakan proses sistematis yang berlangsung terus-menerus,
bersamaan dengan pengumpulan data.[62]
Mengumpulkan data-data yang akan mendukung proses dalam sebuah penelitian.
Setelah mengumpulkan data maka selanjutnya akan dilakukan analisis data.
Beberapa hal yang dilakukan dalam analisis data ialah sebagai berikut:
1. Reduksi
Data
Reduksi
data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga
kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.[63]
Dalam reduksi data ini penulis mengambil bagian-bagian pokok dan penting selama
melakukan pengumpulan data sehingga data-data yang terkumpul dapat membantu
dalam penarikan kesimpulan.
2. Penyajian
Data
Menurut
Matthew dan Michael penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.[64]
Penulis akan memberikannya dalam bentuk deskripsi. Adapun langkah-langkah yang
ditempuh dalam peyajian data studi kasus intrinsic yakni:
a. Deskriptif
Menuliskan
kasus secara deskriptif yakni menuturkan kisah kasus yang diteliti secara utuh
supaya penulis dimudahkan untuk melacak peyabab-peyebab perubahan karakter
orang dewasa.
b. Analisis
Merupakan
suatu usaha yang penulis lakukan untuk mencari tahu peyebab dari kasus
berdasarkan deskripsi di atas.
c. Intrepetasi
Bertujuan
mempelajari pandangan-pandangan khusus dari pelaku atau makna-makna.
Peyebab-peyebab yang berhubungan dengan kajian penelitian.
3. Menarik
Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan
kesimpulan merupakan suatu bagian akhir dalam sebuah penelitian. Setelah
penulis melakukan reduksi dan melakukan penyajian data maka hasil akhir ialah
menyimpulkan semua data-data yang ada sehingga penelitian dapat menarik suatu
kesimpulan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi dari masalah.
BAB
IV
PEMAPARAN HASIL PENELITIAN
A.
Deskripsi
Setelah melakukan penelitian maka penulis akan
menuturkan kasus dari objek penelitian melalui wawancara dan observasi yang
dilakukan secara langsung pada objek yang bersangkutan sehingga dapat
memperoleh informasi dari setiap informan baik orangtua maupun anak yang
mengalami perubahan karakter. Kisah dari objek penelitian skripsi ini akan dipaparkan
melalui deskripsi. Mariana (nama samaran) berumur 31 tahun merupakan anak dari
pasangan suami isteri ayah Abi (nama samaran) dan ibu Ani (nama samaran). Mariana adalah anak
kedua dari delapan bersaudara. Ayah dan ibu dari Mariana pekerjaan mereka
sehari-hari ialah petani yang berpenghasilan padi dan coklat. Ibu juga biasanya
berdagang di pasar menjual hasil ladang. Keluarga ini merupakan keluarga yang
bisa dibilang cukup sederhana tetapi semangat bekerja dari kedua orangtua tidak
pernah menyerah. Keluarga ini bisa dikatakan keluarga yang bekerja keras dan
disiplin. Semua anak-anak dididik untuk bisa bekerja, mandiri dan tidak manja.
Didikan orangtua terhadap anak-anak bisa dikatakan cukup keras karena
mengharuskan mereka bisa mengerjakan semua pekerjaan. Karena semua anak adalah
perempuan maka pekerjaan yang dilakukan laki-laki pun harus mereka kerjakan.
Sejak masih kecil Mariana sudah dididik untuk
bekerja keras dan disiplin. Dia bersama dengan saudaranya sejak kecil sudah
harus membantu kedua orangtua bekerja di kebun dan sawah untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Mereka semua giat bekerja dan mendengar setiap perintah
dan nasehat dari orangtua. Kehidupan Mariana sejak kecil sangatlah polos dibawa
koordinir orangtua dia anak yang taat dan rajin. Kedua orangtua juga
mengharuskan mereka untuk ke gereja setiap hari minggu dan juga mendukung
mereka dalam kegiatan gerejawi. Beliau aktif dalam persekutuan di gereja.
Sejauh pengamatan penulis dan mendengar cerita dari
orangtua dan juga yang dekat dengan beliau. Sejak kecil sampai remaja beliau
adalah anak yang rajin, taat dan disiplin. Semasa kecil beliau terkadang
tinggal bersama dengan nenek orangtua dari bapak. Mariana hidup bergaul dengan teman-temannya
cukup baik.
Menurut Mariana pola asuh yang didapat dari
orangtuanya baik. Dia tidak pernah mempersalahkan asuhan dari orangtuanya.
Mariana mengakui bahwa keluarganya adalah keluarga yang bertipe pekerja keras
jadi mereka dididik dengan keras agar bisa hidup mandiri.
Mariana keluar dari rumah sejak ia tamat di SMP.
Mariana memilih untuk pergi keluar rumah bahkan keluar kota untuk meneruskan
pendidikannya. Awalnya orangtua tidak mengizinkan tetapi karena niat dan tekad
dari Mariana makanya orangtua mengizinkan untuk pergi keluar melanjutkan
studinya. Awalnya hanya ada rasa ingin tahu bagaimana rasanya hidup jauh dari jangkauan
orangtua makanya dia nekad untuk keluar rumah melanjutkan studinya dan beliau
memilih sekolah di Toraja dimana itu tergolong jauh dari orangtua. Orangtua
juga sudah memberikan kepercayaan bahwa dia akan bersekolah dengan baik di
kampung orang sehingga itu yang membuat Mariana tetap bertahan pada keputusan
dan berjanji akan memegang kepercayaan itu apapun yang terjadi pada
kehidupannya nanti entah itu kehidupan yang baik maupun kehidupan yang buruk.
Semenjak Mariana keluar dari rumah, dia bergaul
dengan banyak orang dari berbagai daerah yang memiliki karakter yang
berbeda-beda, sehingga ia harus bisa membawa diri dengan baik dengan lingkungan
yang ada disekitarnya. Mariana mengakui bahwa ada banyak rintangan yang ia
hadapi semenjak keluar dari rumah dan jauh dari orangtua mengharuskan harus
hidup mandiri. Karena keinginannya banyak membuat dia bergaul dengan banyak
orang dan masuk dalam dunia itu dan mengetahui bagaimana rasanya menjadi anak
seni, pencinta alam dan berbagai organisasi yang di masuki dan menemukan banyak
karakter yang berbeda-beda. Sehingga harus terjerumus dalam pergaulan dan kebiasaan
yang buruk. Kebiasaan yang tidak bisa dihindari adalah kebiasaan merokok dan
minum minuman keras saat clubbing dan kadang pulang subuh dari tempat ngumpul
sama teman-teman. Kebiasaan seperti ini membuat mereka nyaman dan merasa
kebersamaan antara satu dengan yang lainnya sehingga kehidupan seperti itu
membuat mereka nyaman dan terus melakukannya. Terkadang sadar bahwa apa yang dilakukan
itu salah dan tak ada gunanya hidup hura-hura tetapi karena ingin
mempertahankan kebersamaan bersama teman-teman maka mereka tetap melakukannya
dan rasa bersalah terhadap orangtua juga menghantui mereka. Tetapi itulah
karena kebersamaan dengan teman-teman membuat mereka nyaman dengan apa yang
mereka lakukan.
Semenjak tamat dari SMK mereka berpisah dan mencari
pekerjaan masing-masing. Kebersamaan mereka rindukan dan menjadikan itu
pengalaman yang berharga dalam kehidupan mereka. Mariana balik ke Palopo dan
bekerja di sana. Kehidupan di kota Palopo semakin berat dan pergaulan pun tidak
dapat dihindari. Merokok dan minum-minuman keras tetap dilakukan bersama teman-teman
barunya di Palopo. Mariana melakukan semua hanya ingin diterima oleh
orang-orang disekitarnya dan bisa menjalin relasi yang baik dengan orang
disekitarnya. Karena kehidupan yang tren dan bergaul dengan orang-orang dunia
kerja mengharuskan dirinya mengikuti tren itu. Karena tidak ingin ketinggalan
dan terlihat beda dengan yang lain maka dia pun berusaha memiliki apa yang
dimiliki oleh orang lain walaupun keadaan ekonomi tidak memungkinkan. Sejauh
pengamatan penulis Mariana jarang sekali pulang ke rumah itupun kalau pulang
hanya satu sampai dua hari saja di rumah, lebih memilih kumpul bersama-sama
teman karena disitu Mariana mendapatkan kenyaman sendiri. Terus mementingkan
kumpul bersama dengan teman-teman. Pengaruh pergaulan di lingkungan teman
beliau berada tidak bisa dihindari sehingga membuat hidupnya tetap mengikuti
tren yang ada. Pengalaman hidupnya membuatnya tetap nyaman dengan keadaan yang
ada.
B.
Analisis
Dari kisah Mariana dapat disimpulkan bahwa semasa
kecilnya Mariana merupakan anak yang memilki karakter yang baik. Anak ini
adalah anak yang taat dan hormat kepada orangtua, suka membantu orangtua
bekerja baik pekerjaan di rumah, kebun dan sawah serta memiliki sikap yang
sopan santun kepada semua orang, serta selalu bersikap jujur. Akan tetapi
setelah umurnya sudah dewasa karakter yang baik itu berubah menjadi karakter
yang buruk. Karakter yang tidak sesuai dengan karakternya semasa kecil. Mariana
menjadi anak yang tidak taat dan tidak melakukan nasehat orangtua serta suka
merokok dan minum-minum keras. Karakter Mariana mulai berubah semenjak di usianya
mulai semakin matang. Di usia yang seharusnya memilki karakter dan kepribadian
yang matang dan mampu bersikap secara dewasa tetapi dalam diri Mariana tidak
menunjukkan hal demikian. Oramg yang matang pribadi dan jiwanya mestinya tau
apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah. Ia menjadi pribadi yang
mandiri dan mampu mengambil keputusan. Orang yang dewasa tidak akan mudah
dipengaruhi orang lain untuk berubah pendapat dan pikirnya. Orang yang sudah
dewasa berarti sudah memiliki pegangan yang kuat. Akan tetapi Mariana mengalami
perubahan karakter yang jauh berbeda dengan kehidupan masa kecilnya dan usia
dewasanya. Penyebab perubahan karakter dari kisah kehidupan Mariana disebabkan
oleh beberapa faktor baik dalam diri sendiri maupun dari lingkungan luar tempat
dimana Mariana berada dan apa yang diterima di lingkungan sekitarnya, maka
berikut ini faktor-faktor yang mendukung akan perubahan karakter adalah sebagai
berikut:
1.
Faktor
Internal
Berdasarkan
wawancara dengan narasumber dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan Mariana
itu berasal dari keinginan dan dorongan yang kuat dalam dirinya sehingga itu
mempengaruhi gerak-geriknya. Adanya keinginan untuk pergi keluar kota dan
merasakan bagaimana harus jauh tinggal bersama dengan orangtua serta melihat
teman-temannya juga bersekolah diluar kota mengakibatkannya untuk ikut juga
bersekolah diluar kota. Ternyata apa yang dialami tidak seperti yang
dipikirkannya. Mariana tidak mampu mengendalikan dirinya sehingga ia
ikut-ikutan dengan apa yang dilakukan teman-temannya. Ketidakmampuan diri dalam
mengendalikan keinginan diri akan berakibat buruk pada kehidupan sendiri. Tidak
adanya pikiran yang matang untuk memikirkan kehidupan di luar sana makanya
keinginan yang muncul langsung dilakukan. Kurangnya pengendalian diri dan
memikirkan akibat dari keputusan yang diambil. Seperti dalam Amsal 25:28
mengatakan bahwa “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota
yang roboh temboknya”. Keinginan yang menghacurkan kebiasaan yang baik yang
sudah dilakukan dari kecil sehingga kebiasaan yang baru akan lebih tertanam.
Pengalaman
hidup yang diterima dari keluar yang mengajarkan untuk bisa hidup bekerja keras
membuat Mariana bisa tetap bertahan hidup dengan bekerja dengan orang lain.
Pendidikan dari orangtua yang mengajarkan bagaimana harus bekerja menghasilkan
uang merupakan sesuatu yang membuat Mariana dapat bekerja dengan baik sehingga
membuat dapat bertahan hidup dan tetap bersekolah di kampung orang. Akan tetapi
nilai-nilai yang ada dalam kelompok tempat Mariana bergabung membuat suatu
tekanan dalam dirinya sehingga harus mengikuti kebiasaan hidup orang-orang
disekitarnya agar mampu diterima orang lain sehingga dapat membentuk
kebersamaan dan kekuatan dalam sebuah kelompok tetapi kurang pengendalian diri
maka harus terbawa dengan kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh orang
lain.
2.
Faktor
Eksternal
a. Keluarga
Berdasarkan
hasil wawancara dengan narasumber. Keluarga merupakan tempat pertama kali dia
mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Kedua orangtua senantiasa memelihara,
merawat dan mendidik mereka dengan baik. Bersikap sopan santun dan berbicara
dengan baik terus diajarkan oleh kedua orangtuanya. tugas dan tanggungjawab
orangtua untuk merawat, membimbing serta mendidik anak sudah diterapkan oleh
orangtua Mariana. Tugas dan tanggungjawab itu pun disadari bahwa anak adalah
titipan Allah yang harus mereka jaga dan mengarahkan hidup mereka pada
pengenalan akan Allah. Seperti perintah dalam Ulangan 6:4-9 bagi umat Israel
bagaimana harus merawat, membimbing serta mendidik anak-anak. Perintah itu
bukan hanya untuk orang-orang Israel tetapi bagi setiap umat Allah yang percaya
kepadaNya. Mariana mengakui bahwa dia dididik dengan baik, disiplin dan juga
diberikan kebebasan. Akan tetapi kebebasan yang diberikan ini terkadang disalah
gunakan oleh Mariana. Kebebasan yang diberikan pun tidak diberikan batasan.
Bebas artinya mereka bebas melakukan apa yang diinginkan asal pekerjaan di
rumah sudah terselesaikan. Orangtua juga terkadang tidak mengontrol teman
bergaul anak, sehingga mereka kurang terkontrol dalam hal bergaul karena anak
sudah diberikan kepercayaan bahwa mereka mampu membawa diri mereka dengan baik.
Orangtua tidak pernah tahu bagaimana kehidupan teman-teman bergaul anaknya.
Seharusnya orangtua juga ikut terlibat dan seperti sahabat bagi anak-anaknya
agar tahu juga teman bergaul anak sehingga anak mampu dikontrol dengan baik.
b. Pergaulan
Berdasarkan
hasil wawancara dengan Mariana. Mariana sangat terpengaruh dengan teman-teman
bergaulnya karena ingin dibilang bisa sama dengan teman-teman yang lain maka
Mariana melakukan semua kebiasaan yang teman-temannya lakukan. Mariana tak
mampu mengendalikan diri dan menolak setiap apa yang diinginkan dan dilakukan
teman-teman untuk tetap terjaganya kebersamaan dan kesatuan dengan teman-teman
yang lainnya. Karakter yang sejak kecil menunjukkan kepolosan dan ketaatan
serta selalu mendengar nasehat orangtua itu berubah menjadi kepribadian yang
buruk. Dalam 1 Korintus 15:33 mengatakan bahwa “Janganlah Kamu sesat: Pergaulan
yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Karena Mariana memiliki pergaulan
yang buruk dalam lingkungan pergaulannya bersama dengan teman-temannya maka
kebiasaan baik yang sudah tertanam sejak kecil berubah menjadi kebiasaan yang
buruk.
Kebiasaan
yang tidak bisa dihindari Mariana dari teman-temannya ialah kebiasaan merokok,
kumpul di club malam sampai harus pulang pagi, dan minum-minuman keras.
Kebiasaan yang sangat buruk dan seharusnya tidak dilakukan oleh Mariana. Tanpa
disadari bahwa kebiasaan itu membuat tubuh rusak dan tubuh sendiri adalah bait
Allah yang seharusnya dijaga dan menghindari kebiasaan yang dapat merusak tubuh
(bnd. 1 Kor. 6:19). Mariana merusaknya
dengan melakukan kebiasaan yang tidak baik dan seharusnya tidak dilakukan.
Terbawa harus pergaulan memang tidak dapat terhidarkan tetapi ketika mampu
mengendalikan diri yang memikirkan segala sesuatu dengan matang maka kebiasaan
buruk tidak akan memberi pengaruh serta pintar-pintarlah dalam memilih teman
dan bergaul dengan orang lain agar kebiasaan yang baik tidak akan berubah
menjadi kebiasaan yang buruk.
c. Keberagamaan
dalam lingkungan masyarakat
Berdasarkan
hasil wawancara dengan narasumber mengatakan bahwa budaya yang ada disekitar
tempatnya berada memberikannya suatu tekanan karena harus mengikuti hal-hal
yang bertentangan dengan kebiasaannya sendiri. Kesulitan yang dirasakan
membuatnya harus mengikuti budaya yang ada dan mengikuti kebiasaan yang sudah
ada dalam lingkungan tersebut agar mampu diterima dengan orang-orang yang baru
dikenalnya. Budaya atau kebiasaan itu pun mempengaruhi kepribadian atau
karakter yang sudah tertanam dalam dirinya karena itu harus menjadi sebuah
kebiasaan yang baru dilakukan dan akan terus dilakukan selama berada di tempat
tersebut. Budaya yang ada bisa saja diikuti akan tetapi budaya yang
bertentangan dengan apa yang diyakini bisa saja kita tolak dan tetap berusaha
bersikap baik dengan cara menghargai kebiasaan tersebut tanpa harus
mengikutinya.
Manusia
merupakan makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan orang lain dan
membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Dalam Alkitab pun diajarkan demikian
bagaimana arus membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan orang lain.
Yesus sendiri merupakan teladan yang baik. Ia tidak membeda-bedakan orang lain
malahan Yesus bergaul dengan orang-orang yang tersingkirkan (bnd. Lukas 7:36-50
dan Markus 2:13-16. Paulus pula menekankan untuk tidak hanya mementingkan diri
sendiri tetapi mementingkan pula kepentingan orang lain sehingga hubungan
dengan orang lain tetap terjaga dengan baik (Filipi 2:3-4). Dalam kehidupan
Mariana pun bergaul dengan orang-orang disekitarnya dan berusaha untuk
mengikuti setiap aturan yang ada. Mariana hidup dalam lingkungan masyarakat
yang berbeda dengan lingkungan kehidupannya sebelumnya. Secara tidak langsung
kebiasaan dan aturan dalam masyarakat dimana seseorang berada harus dipatuhi
dan diikuti untuk dapat bertahan hidup dalam lingkungan tersebut. Nilai-nilai
yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat dimana akan memberi pengaruh
terhadap kebiasaan dan karakter yang sudah dimiliki sehingga lingkungan
masyarakat pun mempengaruhi akan perkembangan karakter seseorang, sehingga
karakter itu berubah mengikuti nilai-nilai dan aturan yang ada dalam lingkungan
masyarakat. Tidak ada salahnya untuk bergaul dengan masyarakat sekitar karena
tanpa bergaul dengan masyarakat tempat dimana kita berada maka kita akan terasa
hidup sendiri dan tidak akan ada orang yang akan mengenal dan menolang ketika
mengalami kesulitan. Pintar-pintar untuk bergaul dan ,membawa diri dalam
lingkungan masyarakat sangat penting karena lingkungan dimana seseorang berada
akan membentuk karakter dan kepribadian seseorang yang mengkibatkan
kepribadaian yang baik akan berubah menjadi buruk jika tidak mampu untuk
melihat perbuatan baik yang bisa diikuti.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam bentuk
wawancara dan observasi dalam sebuah masalah yang telah dipaparkan maka dapat
disimpulkan bahwa penyebab perubahan karakter yang terjadi pada seorang anak
yang sudah dewasa ternyata dipengaruh oleh beberapa faktor baik itu dalam diri
yakni dorongan dan keinginan yang kuat dalam melakukan apa yang diinginkan
sehingga mempengaruhi gerak-gerik seseorang serta pengalaman hidup yang telah
dialami semasa kecilnya yakni didikan dari orangtua yang menerapkan pola asuh
bebas dan terkadang juga otoriter yang berakibat anak tidak mampu mengendalikan
dirinya sendiri sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Pengaruh
dari luar seperti keluarga, pergaulan, budaya dan lingkungan masyarakat sangat
memberi pengaruh yang besar terhadap perubahan karakter. Karakter yang sudah
terbentuk sejak kecil dengan baik tetapi pada usia dewasa berubah karena adanya
pengaruh lingkungan dan pergaulan dengan orang lain yang kurang perhatian dari
orangtua yang sudah memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada anak.
Bisa dikatakan bahwa keberadaan orang lain dapat
memberi pengaruh terhadap karakter seseorang seperti yang dialami oleh Mariana.
Untuk itu pandailah dalam bergaul karena pergaulan dapat mengubah karakter
seseorang baik itu karakter baik mapun karakter buruk.
B.
Saran
1. Pihak
kampus
Pihak
kampus pun mengambil bagian dalam pembentukan dan pengembangan akan karakter
pada anak karena kampus merupakan lingkungan masyarakat dimana anak juga
mengalami proses belajar dan tempat bergaul anak sehingga kampus pun turut
mengambil bagian dalam perubahan karakter anak.
2. Gereja
Lingkungan
gereja pun mengambil bagian dalam pembentukan dan pengembangan karakter anak.
Lingkungan pergaulan anak pun ada dalam lingkungan gereja. Sikap gereja
terhadap anak-anak akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan karakter anak terutama dalam hal spiritual anak.
3. Para
orangtua
Orangtua
diharapkan mampu untuk memberikan kenyamanan kepada anak dan mengenal teman
bergaul anak-anak sehingga mampu untuk mengendalikan dan mendidik anak ketika
harus mengalami perubahan karakter. Orangtua harus menyadari bahwa apa yang lingkungan
di luar keluarga akan ikut mempengaruhi karakter anak sehingga kontrol orantua
terhadap akan trus berlangsung sampai anak sudah dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
-
Alkitab
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia. 2014.
-
Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga.
2007 Jakarta: Balai Pustaka.
Santoso Ananda. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:
Pustaka Dua.
-
Referensi
Buku
Ansori, Muslim dkk. Pendidikan Karakter Wirausaha. Penerbit
Andi.
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius
Pasal 11-29. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2012.
Barker, Paul. Kitab Ulangan: Allah yang Menepati Janji-JanjiNya. Jakarta: Literatur
Perkantas. 2014.
Brake, Andrew. Hidup Bijak di Dunia yang Bodoh. Bandung: Kalam Hidup. 2015.
Budiman, R. Surat 1 & 2 Timotius dan Titus: Surat-surat Pastoral. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 2012.
Daymon, Christine. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public
Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Bentang. 2008.
de Heer, J. J. Tafsiaran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2008.
Gunarsa, Singgih D. dan Y. Singgih
D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak,
Remaja dan keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
Gunarsa, Singgih D. dan Yulia
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Jakarta: Penerbit Libri. 2011.
Gunarsa, Singgih D. Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai
Psikologi Perkembangan. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
J. Cairns, I. J. Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11.
Jakarta: Gunung Mulia. 2003.
Koesoemo A,
Doni. Pendidikan Karakter Utuh dan
Menyuluruh. Yogyakarta: Kanisius. 2012.
Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
1995.
Murdoko, E. Widijo Hari. Parenting With Leadership: Peran Orangtua
Dalam Mengoptimalkan Dan Memberdayakan Potensi Anak. Jakarta: Gramedia.
2017.
Naisaban, Ladislaus. Para Psikologi Terkemuka Dunia. Jakarta:
Grasindo. 2004.
Paterson, Robert M. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis: 1
& 2 Samuel. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2017.
Payne, David F. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: 1 dan 2
Samuel. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2017.
Pervin, Lawrnce A. Daniel Cervone dan
Oliver P. John. Psikologi Kepribadian:
Teori & Penelitian, Edisi Kesembilan. Jakarta: Kencana, 2010.
Pongrapi, Tison. Studi Kasus: Tentang Praktik Pembinaan Bagi
Anak Usia 2-5 Tahun Dalam Keluarga, SKRIPSI. STAKN Toraja. 2016.
Richards, Lawrence O. Pelayanan kepada Anak-Anak: Mengayomi
Kehidupan Iman dalam Keluarga Allah. Bandung: Yayasan Kalam Hidup. 2007.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan Edisi 3 buku 1.
Jakarta: Salemba Humanika.
Sidjabat, B. S. Pendewasaan Manusia Dewasa:Pedoman Pembinaan
Warga Jemaat Dewasa dan Lanjut Usia. Bandung: Klaam Hidup. 2014.
Sidjabat, B.S. Membesarkan
Anak dengan Kreatif. Yogyakarta: ANDI. 2009.
Sinulingga, Risnawaty. Tafsiran Alkitab: Amsal 10:1-22:16.
Jakarta: Gunung Mulia. 2012.
Siregar, Syofian. Statistik Parameter untuk Penelitian
Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.
Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan.
Yogyakarta: ANDI. 2017.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2012.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta. 2009.
Sujanti, Agus. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara. 2012.
Suprijanto, H. Pendidikan Orang Dewasa dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi
Aksara. 2008.
Surbakti, E. B. Kenalilah Anak Remaja Anda. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo. 2009.
T. O’brien, Peter. Tafsiran Pilihan Momentum: Surat Efesus.
Surabaya: Momentum. 2013.
Thomas, Gary. Sacred Parenting: Tanggung Jawab Mengasuh Anak Membentuk Hati Para
Orangtua. Yogyakarta: Gloria Usaha Mulia. 2015.
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI.
Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. 2009.
Wibowo, Agus & Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta:
Pustaka. 2012.
Wibowo, Agus Pendidikan Karakter Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal
Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pusataka Pelajar. 2013.
Widyarini, M.M. Nilam. Relasi Orangtua & Anak. Jakarta:
Elex Media Komputindo. 2009.
-
Internet
Bk-sahabathatianda.blogspot.com
diakses tangal 9 Juni 2018 pada pukul 22:15.
http//staffnew.uny.ac.id diakses
tanggal Kamis, 21 Juni 2018 pukul 06.30.
https://id.m.wikipedia.org
diakses pada hari Sabtu, 21 April 2018 pukul 10:41.
JADWAL PENELITIAN
Kegiatan
|
BULAN
|
|
||||||
Oktober
|
Januari
|
Februari
|
Maret
|
April
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
|
Pengajuan Proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penyusunan Proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Seminar Proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Penelitian
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Ujian Skripsi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
[1] BS. Sidjabat, Membesarkan Anak dengan Kreatif,
(Yogyakarta: ANDI, 2009), 17.
[2] Singgih D. Gunarsa dan Yulia
Singgih D. Gunarsa, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: Penerbit Libri, 2011), h. 3.
[3] Agus Wibowo & Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2012), h. 41.
[4] Doni Koesoemo A, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyuluruh (Yogyakarta:
Kanisius, 2012), h. 55.
[5] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi:
Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Yogyakarta:
Pusataka Pelajar, 2013), h. 34-36.
[6] Muslim Ansori dkk, Pendidikan Karakter Wirausaha (Penerbit
Andi), h. 1.
[7] Ladislaus Naisaban, Para Psikologi Terkemuka Dunia
(Jakarta:Grasindo, 2004), h. 19-20.
[8] http//staffnew.uny.ac.id diakses
pada tanggal Kamis, 21 Juni 2018 pukul 06.30.
[9] Ananda Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya:
Pustaka Dua, ), h. 114.
[10] Singgih D. Gunarsa dan Y.
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis:
Anak, Remaja dan Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 128.
[11] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima (Jakarta: Erlangga,), h. 246.
[12] B. S. Sidjabat, Pendewasaan Manusia Dewasa:Pedoman Pembinaan
Warga Jemaat Dewasa dan Lanjut Usia (Bandung: Klaam Hidup, 2014), h. 1-2.
[13] H. Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa dari Teori HIngga
Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 11-12.
[14] B. S. Sidjabat, Pendewasaan Manusia Dewasa: Pedoman
Pembinaan Warga Jemaat Dewasa dan Usia Lanjut (Bandung: Kalam Hidup, 2014),
h. 2.
[15] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan
(Yogyakarta: ANDI, 2017), h. 339.
[16] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 75.
[17] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan:
Menyiapkan Generasi Penerus yang Kuat dan Bertindak sampai Generasi Keempat
(Yogyakarta:ANDI, 2017), h. 107.
[18]
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 77.
[19] M.M. Nilam Widyarini, Relasi Orangtua & Anak (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2009), h. 11.
[20] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 77.
[21] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 77.
[22] M.M. Nilam Widyarini, Relasi Orangtua & Anak (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2009), h. 11.
[23] E. B. Surbakti, Kenalilah Anak Remaja Anda (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2009) h. 51.
[24] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan
(Yogyakarta: ANDI, 2017), h. 339.
[25] Dr. Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai
Psikologi Perkembangan (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), hal. 386.
[26] Ibid, h. 297.
[27] Lawrence A. Pervin, Daniel
Cervone dan Oliver P. John, Psikologi
Kepribadian: Teori & Penelitian, Edisi Kesembilan (Jakarta: Kencana,
2010), h. 13.
[28] Ibid h. 19.
[29] E. Widijo Hari Murdoko, Parenting With Leadership: Peran Orangtua
Dalam Mengoptimalkan Dan Memberdayakan Potensi Anak (Jakarta: Gramedia,
2017), h. 18.
[30] Ibid, h. 19-24.
[31] Lawrence O. Richards, Pelayanan kepada Anak-Anak: Mengayomi
Kehidupan Iman dalam Keluarga Allah (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2007),
h. 25.
[32] Paul Barker, Kitab Ulangan: Allah yang Menepati
Janji-JanjiNya (Jakarta: Literatur Perkantas, 2014), h. 61.
[33] I. J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11
(Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h. 132.
[34]Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan
(Yogyakarta: ANDI, 2017), h 325.
[35]
I. J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11
(Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h. 135.
[36] Ibid. 135.
[37] Risnawaty Sinulingga, Tafsiran Alkitab: Amsal 10:1-22:16
(Jakarta: Gunung Mulia, 2012), h. 393.
[38] Andrew Brake, Hidup Bijak di Dunia yang Bodoh: Menggali
Sumber Hikmat Sejati dari Kitab Amsal (Bandung: Kalam Hidup, 2015), h. 119.
[39] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan
(Yogyakarta: ANDI, 2017), h 310.
[40] David F. Payne, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: 1 dan 2
Samuel (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), h. 26.
[41] Robert M. Paterson, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis: 1
& 2 Samuel (Jakartta: BPK Gunung Mulia, 2017), h. 27.
[42] Andrew Brake, Hidup Bijak di Dunia yang Bodoh (Bandung:
Kalam Hidup, 2015), h. 118.
[43] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan
(Yogyakarta: ANDI, 2017), h 308.
[44] J. J. de Heer, Tafsiaran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 378.
[45] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius
Pasal 11-29 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 336.
[46] Gary Thomas, Sacred Parenting: Tanggung Jawab Mengasuh
Anak Membentuk Hati Para Orangtua (Yogyakarta: Gloria Usaha Mulia, 2015),
h. 247.
[47] R. Budiman, Surat 1 & 2 Timotius dan Titus: Surat-surat Pastoral (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2012), h. 41.
[48] Peter T. O’brien, Tafsiran Pilihan Momentum: Surat Efesus
(Surabaya: Momentum, 2013), h. 543.
[49] Ibid, 544.
[50] Agus Sujanti, Psikologi Umum (Jakarta: Bumi Aksara,
2012), h. 84.
[51] Mediatus Tanyid, Bahan Ajar Mata
Kuliah Psikologi Sosial.
[52] Singgih D. Gunarsa dan Yulia
Singgih D. Gunarsa, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja ( Jakarta: Penerbit Libri, 2011), h. 152.
[53] Ibid, h. 153.
[54] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi 3 Buku 1
(Salemba Humanika), h. 191.
[55]Bk-sahabathatianda.blogspot.com
diakses tanggal 9 Juni 2018 pada pukul 22:15.
[56] Tim Penulis Fakultas Psikologi
UI, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 106.
[57] Tison Pongrapi, Studi Kasus:
Tentang Praktik Pembinaan Bagi Anak Uisa 2-5 Tahun Dalam Keluarga, SKRIPSI
(STAKN Toraja, 2016), h. 40.
[58] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D (Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 224.
[59] Ibid, h. 203.
[60]Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), h. 64
[62] Christine Daymon, Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public
Relations dan Marketing Communications (Yogyakarta: Bentang, 2008) h. 367.
[63] Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2011), h. 101.
[64] Ibid, h. 101.
0 Response to "perubahan karakter pada orang dewasa di Gereja Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta"
Post a Comment