perubahan karakter pada orang dewasa di Gereja Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan dalam hubungan perkawinan. Tanpa kehadiran anak keluarga merasa ada yang kurang. Sering orangtua katakan bahwa anak adalah penghilang lelah ketika harus bekerja seharian di luar rumah, penyemangat hidup, menjadi kebanggaan orangtua, permata hati, menjadi pewaris nilai dan juga pewaris harta kekayaan keluarga dan harapan masa depan keluarga.  Begitu penting kehadiran anak dalam sebuah keluarga. Anak memiliki peran penting dalam keluarga menjadi pewaris keluarga.
Dalam keluarga orangtua dan anak memiliki hubungan timbal balik yakni anak memerlukan didikan dari orangtua dan orangtua memiliki harapan bahwa anaknya dapat bertumbuh menjadi anak yang baik dan menjadi kebanggaan orangtua. Para ahli psikologi dan pendidikan anak pada umumnya menyatakan bahwa lingkungan agen yang paling banyak mempengaruhi pembentukan watak, iman dan tata nilai adalah keluarga asal.[1] Pembentukan indentitas diri anak tergantung pada pendidikan yang diterima dalam keluarga asal.
Orangtua memiliki peran untuk mengasuh/ merawat dan mendidik anak-anak karena itu adalah perintah Tuhan bagi setiap orang yang percaya kepadaNya. Mengasuh anak membutuhkan waktu dan usaha serta pikiran, apa yang harus dilakukan agar anak dapat bertumbuh dengan baik. Anak dapat bertumbuh dengan baik tergantung pada cara orangtua mengasuh anak-anaknya. Untuk itu orangtua berusaha menerapkan pola asuh dengan baik agar anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perlakuan orangtua terhadap anak semasa kecil akan berdampak pada pertumbuhan di usia dewasa anak. Ketika mau melihat anak bagaimana kelak lihatlah perkembangan yang dilakukan setiap hari. Keluarga asal akan memberi pengaruh pada perkembangan karakter yang berdampak pada indentitas diri anak.
Proses-proses perkembangan yang terjadi dalam diri seorang anak ditambah dengan apa yang dialami dan diterima selama masa anak-anaknya, sedikit demi sedikit memungkinkan ia tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa.[2] Manusia dewasa yang lebih baik yang dapat diandalkan dan menjadi kebanggaan orangtua, masyarakat, serta gereja dimana ia berada. Inilah yang menjadi harapan setiap orangtua agar anaknya menjadi lebih baik dari mereka sehingga berusaha membentuk, mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik yang menguras tenaga dan pikiran.
Dewasa ini sering ditemukan tindakan kriminal atau perilaku-perilaku yang menyimpang baik melalui media-media apa saja, yang tentunya berbeda dengan apa yang diharapkan. Sebagian pelakunya adalah orang yang dewasa seperti kasus pergaulan bebas yang mengakibatkan kepribadian seseorang berubah yakni perilaku, sikap dan karakter anak. Dalam hal ini orangtua berperan penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak khususnya cara orangtua mendidik anaknya dan juga lingkungan dimana anak berada. Dalam keluarga pertama kali akan dilakukan pembentukan akan identitas diri anak melalui cara orangtua membesarkan anak sehingga melalui berbagai pola asuh yang diterapkan akan membentuk karakter dalam diri anak. Pembentukan karakter tidak hanya dalam lingkungan keluarga saja tetapi juga di lingkungan sekitar anak tinggal. Untuk itu selain dalam keluarga lingkungan diluar keluarga pun akan turut mempengaruhi akan pembentukan karakter anak.
Fakta empiris khususnya dalam konteks Jemaat Elim Baebunta menunjukkan bahwa ada kasus seorang anak pada masa kecilnya memiliki karakter yang baik. Pada masa usia balita sampai remaja anak ini dikenal anak yang rajin, suka membantu orangtuanya, mendengarkan setiap apa yang dikatakan orangtua tidak pernah melawan ketika diperintah, anaknya sopan santun baik kepada orangtua maupun orang lain dan rajin ke sekolah minggu setiap hari minggunya. Orangtua sangat senang melihatnya anak menjadi anak yang taat dan suka membantu orangtua. Orangtua yakin bahwa kelak kalau sudah dewasa anak ini akan menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan menghormati orangtua.
 Akan tetapi karakter yang telah terbentuk sejak masa kecil sampai dewasa berubah menjadi karakter yang buruk. Semenjak usia anak ini sudah dewasa, dia menjadi anak yang tidak lagi mendengar nasehat orangtua, tidak nyaman lagi tinggal di rumah, lebih merasa senang dan nyaman kumpul bersama-sama teman-temannya daripada harus tinggal di rumah membantu orangtua bekerja, menjadi perokok dan suka minum-minum keras serta jarang sekali ikut dalam persekutuan dan pergi ke gereja setiap hari minggu. Setelah bekerja uang yang diperoleh digunakan untuk bersenang-senang bersama teman-temannya.
Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian akan “Studi Kasus tentang Perubahan Karakter pada Orang Dewasa di Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta”.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan; bagaimana perubahan karakter pada orang dewasa di Gereja Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai penulis yaitu untuk menjelaskan perubahan karakter pada orang dewasa di Gereja Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta.

D.    Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat:
a.       Skripsi ini kiranya dapat memberikan informasi pemikiran bagi lembaga Sekolah Tinggi Agama Kristen khususnya dalam mata kuliah PAK Anak dan Remaja dan PAK Dewasa khususnya dalam perkembangan anak.
b.      Skripsi ini dapat menambah wawasan kepada penulis sebagai calon guru Pendidikan Agama Kristen dalam melihat karakter anak.
c.       Sebagai bahan masukan bagi orangtua bahwa pembentukan karakter anak dibentuk dalam keluarga.
d.      Sebagai masukan bagi gereja bahwa pembentukan karakter dimulai dalam keluarga dan juga lingkungan tempat tinggal anak bertumbuh.

E.     Sistematika Penelitian
Dengan memperhatikan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka sistematika akan disusun sebagai berikut:
BAB 1: Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Kajian Teori
Pada bagian ini akan berisi tinjauan pustaka mengenai karakter usia dewasa: karakter dan kepribadian, karakter usia dewasa, pola asuh anak, pandangan Alkitab, dan faktor-faktor penyebab perubahan karakter.


BAB III: Metodologi Penelitian
Berisi tentang jenis penelitian, teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi, informan dan teknik analisis data.
BAB IV: Pemaparan Hasil Penelitian
Pada bab ini berisi pemaparan hasil penelitian dan pembahasan.  
BAB V: Penutup
  Bab ini berisi kesimpulan dan saran. 









BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Karakter Usia Dewasa
1.      Karakter dan Kepribadian
Menurut buku Dani Setiawan yang dikutip oleh Agus Wibowo dan Hamrin dalam buku yang berjudul menjadi guru yang berkarakter ialah akar kata “karakter” ini, jika kita lacak kata karakter dalam bahasa Latin, yaitu “kharakter,” “kharassein,” dan “kharax,” yang bermakna “tools for marking,” “to engrave,” dan “pointed stake.” Kata ini mulai banyak digunakan dalam bahasa Prancis sebagai “caractere” pada abad ke-14. Ketika masuk ke dalam bahasa Inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi “character.” Selanjutnya dalam bahasa Indonesia kata “character” ini menjadi “karakter”.[3]
Secara etimologis kata “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso (=cetak biru, format dasar, sidik seperti dalam sidik jari). Dalam tradisi Yahudi, para tertua melihat alam (laut) sebagai sebuah karakter. Artinya sebagai sesuatu yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia, mrusut seperti menangjap asap. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya.[4] Tergantung pada lingkungan di mana anak bertumbuh dan berkembang.
Pendapat beberapa para ahli mengenai karakter ialah:[5]
a.       Menurut Thomas Lickon, karakter itu merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral.
b.      Menurut Ki Hajar Dewantara, memandang karakter itu sebagai watak atau budi pekerti. Sebagai sifatnya manusia, mulai dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga.
c.       Menurut Suyanto, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
d.      Menurut Tadkiroatun Musfiroh, karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Menurut Musfiroh karakter itu sebenarnya berasal dari  bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan itu dalam bentuk tindakan dan tingkah laku.
e.       Menurut Rizal, karakter seseorang itu pada dasarnya sulit diubah. Namun demikian, lingkungan dapat menguatkan atau memperlemah karakter tersebut.
f.       Menurut Kemendiknas, karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (virtues), yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang berpikir, bersikap, dan bertindak.
Dari defenisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sesuatu yang alami terjadi dalam kehidupan setiap orang yang melekat pada diri seseorang sehingga menjadi sifat dan tingkah laku yang membentuk kepribadian seseorang yang terbentuk dari lingkungan di mana seseorang bertumbuh.   
Karakter terbentuk dari pendidikan awal yang diterima seseorang dari keluarganya dan juga oleh lingkungan di mana ia dibesarkan akan turut mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Karakter ialah yang melekat pada diri seseorang. Pertanyaan bahwa bisakah karakter itu diubah? Karakter bisa saja berubah sesuai dengan apa yang diterima seseorang sejak kecil dan lingkungan seseorang berada. Karakter baik dan buruk yang dimiliki seseorang itu tergantung dari pendidikan awal yang diterima. Jika dari awal seseorang menerima pendidikan atau pola asuh yang kasar maka seseorang akan bertumbuh menjadi pribadi yang kasar dan sebaliknya jika seseorang dibesarkan dengan kasih sayang, lemah lembut dan disiplin maka karakter ia pun akan lemah lembut, disiplin dan memiliki kasih sayang. Karakter terbentuk dari cara seseorang dididik dan dimana seseorang bertumbuh dan berkembang.
Karakter dan kepribadian merupakan dua istilah yang hampir sama tetapi memiliki perbedaan. Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan. Setiap orang yang memiliki kepribadian pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan dalam aspek kehidupan sosial dan kehidupan pribadi. Secara umum kepribadian manusia ada empat, yaitu Koleris, Sanguinis, Phlegmatis, dan Melankolis. Sedangkan yang disebut dengan karakter adalah saat manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru. Misalnya, seseorang dengan kepribadian Sanguin, yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius. Sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus itulah yang disebut karakter.[6]
Menurut Allport dalam membedakan karakter dan kepribadian, ia berpendapat bahwa secara tradiosonal kata watak (karakter) mengisyaratkan norma tingkahlaku tertentu atas dasar mana individu dan perbuatannya dinilai. Dan dalam menggambarkan watak individu, kata baik dan buruk yang sering digunakan. Dengan demikian watak sebagai kepribadian yang dapat dievaluasi (dinilai), sedangkan kepribadian adalah watak yang tidak dapat dinilai.[7] Artinya bahwa kepribadian tidak dapat dinilai tetapi watak atau karakter dapat dinilai seseorang makanya muncul karakter baik dan karakter buruk.
Ketika membahas tentang kepribadian seseorang dan diletakkan pada norma moral, pada penilaian baik dan buruk, maka itu membahas tentang karakter. Karakter adalah perilaku seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Proses pembentukan dan perubahan karakter pada diri seseorang tergantung bagaimana cara seseorang belajar dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Karakter dan kepribadian adalah hal yang melekat pada diri manusia yang bisa dibentuk dan berubah.
Hubungan karakter dan kepribadian keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi. Kepribadian yang ditunjukkan seseorang akan membentuk karakter seseorang. Misalnya seseorang memiliki karakter kepribadian yang baik akan membentuk karakter yang baik dan sebaliknya. Jika karakter mewarnai semua aktivitas yang dilakukan seseorang, maka kepribadian adalah akibat dari semua aktivitas itu.[8] Karena itu karakter dan kepribadian merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa terpisahkan. Setiap tingkahlaku yang ditunjukkan seseorang itulah yang disebut karakter bak itu karakter baik maupun karakter yang buruk. 

2.      Karakter Usia Dewasa
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia dewasa adalah sudah cukup umur, bisa membedakan baik dan buruk, telah mencapai kematangan kelamin (tentang hewan); menunjukkan keterangan waktu atau masa mutakhir.[9] Usia dewasa berarti usia yang sudah bisa dikatakan matang. Manusia yang sudah mampu berpikir dewasa tidak lagi berpikir seperti anak-anak. Pengertian dewasa mengandung berbagai arti antara lain meliputi: kemampuan untuk berdiri sendiri, menentukan tindakan sesuai dengan kedewasaannya dan melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang lain.[10] Dewasa berarti mampu untuk berdiri sendiri dalam mengambil keputusan-keputusan dalam kehidupannya tanpa harus bergantung pada orang, sudah mampu untuk hidup mandiri. Orang dewasa dapat juga diartikan individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.[11]
Dalam konteks masyarakat Indonesia orang dewasa ialah pribadi yang telah mencapai usia 22 tahun ke atas. Secara kronologis ada tiga golongan manusia dewasa yakni: (1) dewasa awal atau dewasa muda, yaitu mereka yang berusia 22-40 tahun. (2) golongan dewasa menengah atau paruh baya, yaitu yang berusia antara 40-60 tahun. (3) golongan dewasa lanjut, yaitu mereka yang berusia 60 tahun ke atas.[12] Seseorang dikatakan dewasa ketika sudah mencapai umur yang matang. Namun terkadang juga umur seseorang sudah mencapai tingkat dewasa tetapi sikap dan perilaku mereka tidak menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa.
Seseorang dikatakan dewasa tidak hanya ditinjau dari segi umur saja tetapi juga dari segi psikologi dan ciri biologis. Ciri-ciri psikologis orang dikatakan dewasa ialah seseorang yang dapat mengarahkan diri sendiri, tidak selalu tergantung pada orang lain, mau bertanggung jawab, mandiri, berani mengambil resiko dan mampu mengambil keputusan serta ciri-ciri biologis seseorang dikatakan dewasa ialah seseorang telah menunjukkan tanda-tanda kelamin sekunder.[13] Melihat kedewasaan seseorang tidak hanya dilihat pada umur saja tetapi juga melihat perubahan fisik serta sikap dan perilaku.
Usia dewasa tergantung pada sikap dan perilaku yang ditunjukkan seseorang. Seseorang yang mampu bertanggung jawab merupakan manusia dewasa yang matang, yang mampu mengendalikan diri dari berbagai tantangan zaman.
            Kedewasaan harus dipahami dari berbagai aspek yakni aspek psikologis, sosiologis, cultural, ekonomis, dan spiritual. Dewasa secara psikologis, artinya mapan dalam pemikiran atau cara berpikir, bahkan daklam mengelola emosi seta dalam menyatakan sikap bijak ketika mengambil keputusan. Dewasa secara sosiologis, maksudnya mampu menempatkan diri dengan baik dalam relasi dengan komunitas tempatnya berada, sekurang-kurangnya dalam lingkup keluarga. dewasa secara cultural, yaitu mampu memahami dan melakukan peran menurut adat dan tradisi yang berlaku di dalam masyarakat tempat orang dewasa itu bertumbuh. Dewasa secara ekonomis, yaitu dalam arti mempunyai atau bahkan menciptakan pekerjaan sehingga bertanggung jawab menghidupi diri sendiri dan keluarga. dewasa secara spiritual, yaitu memiliki kemantapan rohani serta berkomitmen kepada Tuhan dan firmanNya, dengan mengasihi Dia melalui totalitas kehidupan.[14]
Karakter usia dewasa merupakan suatu karakter yang memiliki kematangan baik secara psikologis, maupun secara sosial dalam lingkungan masyarakat. Orang dikatakan dewasa apabila mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan mampu untuk mengendalikan diri terhadap lingkungan tempat ia berada.

B.     Pola Asuh Anak
Pola asuh berasal dari dua kata yakni pola atau cara dan asuh ialah merawat. Pola asuh ialah bagaimana cara atau bentuk seseorang dalam merawat anak-anak yang dianugerahkan bagi sebuah keluarga. Mengasuh juga dapat berarti menjaga atas dasar kasih, yang di dalamnya ada kegiatan merawat, mendidik, membantu, melatih, memimpin dan mengawasi.[15] Mengasuh anak adalah tugas utama orangtua yang akan membentuk karakter anak. Pola asuh atau parenting style adalah salah satu faktor yang secara signifikan turut membentuk karakter anak.[16] Karakter anak dibentuk sejak anak masih dini. Pembentukan karakter dimulai dari dalam keluarga. Bagaimana orangtua mengasuh anaknya akan membentuk karakter anak. Dari dalam keluarga pendidikan itu dimulai. Lingkungan keluarga adalah dunia pendidikan yang paling utama dalam kehidupan anak dan orangtua ialah guru pertama anak yang akan anak dengarkan, ditiru dan merasakan rasa aman. Rasa aman dan nyaman dari orangtua akan sangat membantu dalam proses pengasuhan. Jadi, pola asuh merupakan cara orangtua dalam merawat, mendidik, membimbing dan memelihara anaknya agar dapat bertumbuh menjadi manusia dewasa yang dapat menjadi teladan dan kebanggaan orangtua dan lingkungan dimana anak berada.
Anak merupakan anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada setiap orangtua. Merupakan titipan Allah bagi orangtua untuk dididik, dijaga, dirawat dan dipelihara sehingga menghasilkan generasi penerus yang dapat diandalkan di mana ia berada.
Dalam sebuah keluarga anak merupakan anggota terkecil. Yang harus menaati dan menghormati orangtua. Tugas dan kewajiban anak ialah taat kepada apa yang orangtua katakan.[17] Anak berhak pula meminta kepada orangtua segala apa yang dibutuhkan misalnya bersekolah. Ketika anak bersekolah kewajiban anak ialah belajar dengan baik dan membahagiakan orangtua. Ketika anak berhasil orangtua pun akan turut dalam kebahagian mereka. Anak ialah harapan dari orangtua yang akan menjadi pewaris dalam keluarga. Anak merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan keluarga.  
Dalam pola asuh ada tiga bentuk pola asuh anak yang diterapkan orangtua dalam mengasuh anak-anak. Adapun tiga bentuk pola asuh anak adalah sebagai berikut:
1.      Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara memaksa, mengatur, dan bersifat keras. Ciri utama pola asuh otoriter adalah orangtua membuat hampir semua keputusan. Orangtua yang mengatur anaknya, anak tunduk sepenuhnya kepada orangtua. Apa yang dikatakan orangtua itu pula yang dilakukan anak. Anak tidak bisa menolak dan tidak bisa mengatakan “tidak”. Apapun yang dikatakan orangtua itulah yang harus dituruti anak. Ciri khas pola asuh otoriter ini diantaranya:[18]
a.       Kekuasaan orangtua lebih dominan; 
b.      Anak tidak diakui sebagai pribadi;
c.       Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat;
d.      Orangtua akan sering menghukum jika anak tidak patuh.   
Dalam pola asuh ini anak ibarat robot yang dikendalikan oleh sang pengendali yakni orangtuanya sendiri. Orangtua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha membentuk, mengendalikan dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati, otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman.[19] Hukuman yang tidak menimbulkan sebuah didikan terhadap anak.  
Pola asuh yang lebih berpusat kepada apa yang dikatakan orangtua, apa mau orangtua dan anak hanya sebagai alat yang digunakan saja. Orangtua hanya memikirkan apa yang mereka inginkan tanpa melihat apa juga yang dibutuhkan oleh anak. Kebebasan anak untuk bergerak sangat terbatas. Anak tidak berhak memiliki pendapat dan bertindak sesuai keinginannya tetapi harus sesuai dengan apa yang orangtua perintahkan karena jika tidak maka anak akan mendapat hukuman, walaupun apa yang dikatakan orangtua itu salah anak harus tetap melakukannya. Dalam pola asuh seperti ini anak membentuk anak yang tidak percaya diri, penakut, tidak dapat mengambil keputusan sendiri, akan selalu merasakan ketakutan, tidak mampu berpendapat, dan memiliki karakter yang keras karena selalu menerima perlakuan yang keras dan kasar. Oleh karena itu, tipe pola asuh ini haruslah dihindari karena dampak negatifnya sangat besar.   

2.      Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang saling bekerjasama antara anak dan orangtua yang memiliki hubungan yang akrab. Orangtua tidak memaksakan kehendak mereka namun melihat pula apa yang diinginkan anak mereka. Pola asuh ini, orangtua memberikan kebebasan serta bimbingan kepada anak. Anak berkembang secara wajar dan mampu berhubungan secara harmonis dengan orangtua. Hubungan yang akrab dan harmonis dapat memberikan kedekatan batin yang sangat erat. Orangtua akan merasakan apa yang dirasakan oleh anak begitupun sebaliknya karena terbentuknya ikatan batin yang kuat dalam diri anak dan orangtua. Sehingga proses tumbuh kembang anak berjalan dengan baik. Adapun ciri-ciri khas pola asuh demokratis adalah sebagai berikut:[20]
a.       Orangtua senantiasa mendorong anak untuk membicarakan apa yang menjadi cita-cita, harapan dan kebutuhan mereka;
b.      Pada pola asuh demokratis ada kerjasama yang harmonis antara orangtua dan anak;
c.       Anak diakui sebagai pribadi, sehingga segenap kelebihan dan potensi mendapat dukungan serta dipupuk dengan baik;
d.      Orangtua akan membimbing dan mengarahkan anak-anak mereka;
e.       Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.  
Dari ciri-ciri ini dapat disimpulkan bahwa pola asuh demokratis dapat memberikan lebih banyak dampak positif dalam pembentukan kepribadian anak karena anak akan bertumbuh dengan baik ke arah yang lebih positif. Orangtua yang memberikan kebebasan tetapi tetap pada control dan bimbingan agar anak mampu membedakan apa yang baik dilakukan. Kedekatan orangtua dan anak dalam pola asuh ini akan semakin menjadi akrab dan harmonis sehingga tidak ada batasan-batasan yang akan membatas antara orangtua dan anak namun mereka saling terbuka satu sama lain sehingga keharmonisan dalam keluarga tetap terjaga dengan baik. Pola asuh ini sangat baik untuk diterapkan dalam kehidupan rumah tangga.  

3.      Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif ini hampir sama dengan demokratis tetapi dalam pola asuh ini orangtua memberikan kebebasan kepada anak tetapi kurang peduli terhadap perkembangan anak. Orangtua yang acuh kepada anaknya. Memberikan kebebasan tetapi tidak mengontrolnya. Apa yang dilakukan anak orangtua sama sekali tidak mempedulikannya, entah itu baik atau buruk yang dilakukan terserah kepada anak, orangtua tidak mau tahu dan tidak peduli akan hal itu. Adapun ciri-ciri pola asuh ini ialah sebagai berikut:[21]
a.       Orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat;
b.      Dominasi pada anak;
c.       Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua;
d.      Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua;
e.       Kontrol dan perhatian orangtua terhadap anak sangat kurang, bahkan tidak ada.
f.       Hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga. [22]
Pola asuh yang membiarkan anak bertumbuh dan berkembang sendiri tanpa adanya kontrol orangtua. Orangtua tidak ada waktu untuk mengontrol anak-anaknya, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga anak akan merasa kurang kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Anak akan bertindak semaunya dan tidak akan pernah tahu apa yang dilakukan salah atau tidak. Mereka melakukannya sesuka hati mereka. Sehingga dampak dari pola asuh ini anak bertindak sesuka hati, tidak mampu mengendalikan diri, tingkat kesadaran mereka rendah, menganut pola hidup bebas, selalu memaksakan kehendak, tidak dapat membedakan baik dan buruk, kemampuan berkompetensi rendah, tidak mampu menghargai prestasi dan kerja keras, mudah putus asa, sering kalah sebelum bertanding, miskin inisiatif dan daya juang rendah, tidak produktif dan hidup konsumtif, dan kemampuan mengambil keputusan rendah.[23] Pola asuh permisif tidak baik untuk selalu diterapkan dalam pengasuhan anak-anak karena akan menghasilkan anak yang tidak bertanggung jawab dan memiliki keegoisan yang tinggi, karena memiliki kehendak bebas yang tidak terkontrol dengan baik.
Jadi pola asuh permisif merupakan model pola asuh yang memberikan kebebasan penuh kepada anak tanpa adanya kontrol dari orangtua. Sehingga anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang tidak menerima teguran dan kritikan dari orang lain, akan menganggap diri selalu benar, serta tidak dapat bertanggung jawab.
Sejak anak dalam kandungan, anak sudah mulai mengalami pengasuhan melalui bagaimana orangtua sudah mulai merawat anak melalui pola makan yang sehat dan bagaimana cara orangtua mulai berkomunikasi dengan anak. Dalam kandungan anak sudah bisa mulai merasakan bagimana kasih sayang orangtuanya bagi mereka. Perkembangan itu terus terjadi dalam kehidupan anak. Kehidupan anak sejak kecil menentukan bagaimana anak dalam kehidupan dewasanya. Karena usia dini adalah kunci pembentukan karakter saat usia dewasa kelak. Orangtua berkewajiban mengawal anak-anak dengan mengasuh anak-anak, menjadi teladan hidup, mendidik, mengajar, membimbing dan melatih mereka supaya menjadi sehat dan dewasa secara rohani, jasmani, maupun secara ekonomi; supaya mereka menjadi dewasa, mandiri dan takut akan Tuhan.[24] Mempersiapkan anak untuk menghadapi masa dewasanya. Membentuknya mulai dari masa kanak-kanak.
Membicarakan berbagai hal berkaitan dengan kehidupan anak pada akhirnya bertujuan agar anak menjadi manusia dewasa yang matang.[25] Manusia yang dapat dibanggakan dan menjadi manusia yang memiliki karakter yang baik. Mempersiapkan anak untuk memiliki kepribadian yang baik harus dipersiapkan sejak anak masih balita sampai pada dewasa. Pola asuh yang dilakukan akan sangat mempengaruhi perkembangan anak.
Kegiatan mengasuh anak pada umumnya memiliki landasan tujuan yang sama yaitu (1) memberikan landasan kehidupan keluarga pada anak-anak, (2) agar kelak anak menjadi adaptif dalam menyisati kehidupan mereka, (3) menanamkan sikap disiplin pada anak dan (4) membangun rasa percaya diri.[26] Dalam menanamkan dan menerapkan tujuan pengasuhan ini tidak mudah karena banyaknya tantangan zaman yang harus dihadapi anak dan juga orangtua. Perubahan dan perkembangan zaman akan turut mempengaruhi tumbuh kembang anak sehingga dalam mengasuh anak harus sudah siap dengan tuntutan zaman.
Pola asuh yang diterapkan pada anak akan memberi pengaruh pada usia dewasa anak. Bagaimana orangtua memperlakukan anak pada usia dini akan memberi pengaruh pada usia dewasa anak. Orangtua model dalam pembentukan kepribadian anak. Cara orangtua memperlakukan anak dan cara mereka berperilaku akan tertanam dalam diri anak. Kepribadian seseorang bisa jadi merupakan refleksi dari cara pengasuhan yaitu ketika seseorang dibesarkan sebagai anak.[27] Pola asuh apa yang digunakan oleh orangtua itu juga yang akan membentuk anak menjadi suatu pribadi yang utuh. Tiap pola perilaku orangtua mempengaruhi perilaku anak mereka melalui tiga cara utama: melalui perilaku mereka sendiri, mereka berperan sebagai model peran untuk identifikasi dan mereka memilih perilaku yang disetujui.[28] Perilaku yang orangtua terapkan dalam lingkungan keluarga yang menjadi aturan bagi anak-anak.
Pembentukan karakter dalam keluarga merupakan hal yang tersulit yang harus orangtua tanamkan dalam diri anak. Menanamkan karakter yang baik mulai sejak dini. Harapan setiap orangtua bahwa anak memiliki karakter yang baik. Apalagi mengingat perubahan pola hidup yang terjadi saat ini menegaskan bahwa karakter anak menjadi dasar yang harus diperkuat sehingga anak dapat berkembang hidupnya dengan baik. Terutama sikap mental dan karakter seperti apa yang perlu ditanamkan kepada anak-anak sebagai bekal nanti ketika ia memasuki usia dewasa.[29] Penanaman karakter pada usia dini sangat menentukan karakter anak pada usia dewasa. Untuk itu, dalam pola asuh yang diberikan kepada anak haruslah diperhatikan agar dapat membentuk karakter anak menjadi lebih baik. Pola asuh yang diberikan sebagai penentu akan masa depan anak. Beberapa sikap mental karakter yang harus ditanamkan kepada anak sejak di usia dini ialah kejujuran, kedisiplinan, dan semangat.
Kejujuran mempersiapkan anak di usia dewasa memiliki pribadi yang sportif, mau menerima kekalahan, dan mampu mengekspresikan apa yang ia rasakan tanpa takut terhadap penilaian orang lain. Kedisiplinan merupakan sikap mental untuk membentuk pribadi-pribadi yang selalu memiliki komitmen dalam menjalankan suatu tindakan. Semangat mempersiapkan anak untuk mampu menghadapi hal-hal yang sulit dalam hidupnya.[30] Menanamkannya sejak dini sangatlah penting.
Kehidupan di luar lingkungan keluarga juga turut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pembentukan kepribadian anak akan terbentuk pula dalam lingkungan masyarakat dan teman sebaya anak. Itu pun harus orangtua perhatikan karena selain dibentuk dalam keluarga lingkungan di luar keluarga pun akan membentuk karakter anak. Selain dalam lingkungan keluarga kehidupan pergaulan anak pun haruslah orangtua perhatikan agar anak dapat bertumbuh dengan baik dan terarah sehingga pada usia dewasanya anak menjadi pribadi yang baik yang disenangi oleh orang-orang disekitarnya.   






C.    Pandangan Alkitab
1.      Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama memberikan gambaran akan kehidupan dalam keluarga. Keluarga yang menjadi pusat pendidikan terutama bagi anak-anak. Adanya perintah Allah bagi umatNya untuk memperkenalkan Allah bagi generasi-generasi yang akan datang agar mereka dapat mengenal siapa itu Tuhan Allah dalam kehidupan mereka.
Dalam kitab Ulangan memberikan petunjuk cara membesarkan anak dalam sebuah keluarga. Perintah Allah bagi umat-umatNya bangsa Israel. Ada dua bagian yang mengulang petunjuk yang sama[31] yakni Ulangan 6: 4-9 dan Ulangan 11: 18-19. Kedua bagian kitab Ulangan ini memberikan potret orangtua sebagai pendidik dan pengajar. Bagaimana seharusnya orangtua dalam mendidik dan mengajar anak dalam lingkungan keluarga berdasarkan rencana Allah. Perintah Allah bagi umat Israel dan respon umat Allah. Inilah yang disebut Shema oleh orang Yahudi, kata pertama dalam bahasa Ibrani pada ayat 4.[32]
“Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (6: 4,5).

Dalam tradisi Yudaisme Ul 6: 4 merupakan suatu perintah iman yang harus diucapkan tiap pagi dan malam (bnd ayat 7).[33] Perintah yang harus diulang-ulang yang memberikan makna bahwa perintah ini sangat penting dan harus diajarkan dengan penuh kasih. Kasih yang sesungguhnya kepada Allah. Dalam keluarga menerapkan kasih antar anggota sangatlah penting karena merupakan perintah Allah bagi umatNya yang melambangkan pula ketaatan seseorang kepada Allah. 
Allah mengaruniakan anak-anak kepada keluarga untuk diperhatikan, dirawat, dibesarkan dan dididik. Inilah yang disebut tanggung jawab.[34] Dalam Ulangan 6:7 ditegaskan demikian “….Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang……….Kepada anak-anakmu.” Memberikan pengajaran kepada anak-anak secara berulang-ulang (berulang-ulang secara harfiah meruncingkannya atau mempertajamnya).[35] Hal yang selalu diulang-ulang akan tertanam baik dalam diri seseorang. Terutama dalam kehidupan anak karena anak lebih cepat menangkap apabila hal itu diulang-ulang maka akan selalu anak ingat dan mampu menerapkannya.
Kemudian dikatakan membicarakannya apabila engkau duduk…Dalam perjalanan…Berbaring…….Bangun menggambarkan seluruh aspek kehidupan. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan manusia. Orangtua menjadi teladan bagi anak-anak. Sebaiknya setiap aktivitas yang dilakukan oleh orangtua itu dilakukan untuk memberikan contoh bagi anak-anak. Sifat dasar anak ialah suka meniru apa yang orang dewasa lakukan terutama kedua orangtuanya. Yang akan menjadi lambang pada tangan, dahi, pintu rumah dan pintu gerbang (Ul 6:8-9), sebuah simbolis hendaklah tora mengatur pergaulan di rumah tangga.[36] Mendidik anak sesuai dan sejalan dengan perintah Allah. Mengarahkan anak pada jalan yang Allah kehendaki sehingga anak bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah. Sehingga anak bertumbuh menjadi pribadi yang takut akan Tuhan.
Hal ini ditegaskan dalam Amsal 22:6 mengatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.” Ini adalah suatu perintah betapa pentingnya mendidik anak pada masa mudanya. Tidak hanya sekedar menambahkan pengetahuan dan kemampuan tetapi juga mengarahkan pada kehidupan yang benar. Hanya ada satu jalan yang benar dalam kehidupan anak muda yaitu jalan hikmat yang akan membawa dia kepada kehidupan yang benar, yang berkelimpahan secara kuantitas dan kualitas.[37] Ada presentase yang tinggi dari anak-anak yang kembali pada prinsip-prinsip yang dijalankan oleh orangtua mereka saat mereka beranjak dewasa.[38] Mendidik anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Artinya bahwa ketika mendidik anak pada masa kanak-kanak haruslah mendidik mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan maka mendidik mereka dengan baik pada masa muda mereka maka akan membentuk karakter yang baik dalam kehidupan anak. Maka perlu adanya sebuah pemahaman antara anak dan orangtua agar orangtua pun dapat memberikan respon yang baik sehingga anak bertumbuh tidak menyimpang dari apa yang telah dibentuk sejak masa mudanya.
Salah satu contoh tokoh Alkitab yang mendidik anaknya tidak berhasil ialah kisah keluarga Iman Eli (1 Samuel 2:11-26). Imam Eli memiliki dua anak laki-laki yakni Hofni dan Pinehas. Keduanya melakukan kejahatan di mata Tuhan. Kedua anak itu disebut oleh Alkitab sebagai orang-orang dursila.[39] Mereka bersalah dalam dua hal yang membawa nama buruk pada mereka dan pada seluruh keimaman yakni: (1) keserakahan (ay. 12-17) dan (2) perilaku seks yang tidak bermoral (ay. 22).[40] Kejahatan anak-anak Eli membuat mereka tidak disukai manusia dan Allah. Imam Eli sudah menegur mereka supaya mereka memperbaiki kelakuan mereka tetapi mereka tidak mendengar akibatnya hukuman pun jatuh pada diri mereka. Tetapi berbeda dengan Samuel, dia bertumbuh menjadi pribadi yang baik. Dia disukai oleh manusia dan Allah karena telah melakukan pelayanan dengan baik.[41]
Dari kisah Imam Eli mau menunjukkan bahwa mendidik anak dengan tidak baik maka akan membawa akibat yang buruk baik kepada anak maupun orangtua. Mendidik anak dengan baik membuat sukacita dalam kehidupan keluarga karena anak bertumbuh menjadi anak yang turut kepada orangtua serta taat kepada Allah dan menunjukkan sikap yang patut untuk dibanggakan. Harapan setiap orangtua anak boleh bertumbuh dengan baik disukai Allah dan juga manusia.
Dalam Amsal 29:15, 17 mengatakan, “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya. Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketentraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu”. Seorang anak yang dibiarkan mengambil keputusan sendiri pada akhirnya akan mendatangkan malu terhadap keluarga. Mendidik anak dengan baik dengan membekali mereka dengan alat mengemudikan perjalanan hidup mereka, kita dapat mempercayakan mereka kepada Tuhan. Kehidupan anak akan mendatangkan sukacita dan memberikan damai sejahtera bagi orangtua.[42] Orangtua diperintahkan untuk mendidik anak dengan baik ketika anak bertumbuh dengan baik maka akan mendatangkan sukacita pada kehidupan dalam keluarga. Membiarkan anak tanpa anak tahu yang mana yang benar dan yang salah maka akan mendatangkan keburukan bagi setiap anggota keluarga. Sangat perlu untuk mendisiplinkan anak agar anak dapat bertumbuh dengan memiliki karakter yang baik dan mendatangkan sukacita bagi keluarga.

2.      Perjanjian Baru
Salah satu contoh dari Perjanjian Baru yang patut diteladani dalam proses pola asuh anak ialah keteladanan yang dilakukan oleh Yusuf dan Maria. Mereka menyerahkan Yesus kepada Allah, sesuai peraturan yang berlaku pada masa itu (Luk. 2:21-40). Mereka melakukannya bukan karena harus taat pada tradisi yang ada tetapi mereka menyadari bahwa mereka hanya dipilih Allah untuk melahirkan Juruselamat.[43] Membesarkan Yesus dengan penuh kasih sayang dan menyadari bahwa Yesus adalah titipan dari Allah bagi mereka untuk dirawat, diajar dan dididik.
Yesus bertumbuh menjadi pribadi yang taat dan menjadi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Yesus pun mengasihi dan menyayangi anak-anak. Ia tidak menolak setiap orang yang datang kepadaNya termasuk anak-anak. Dalam Matius 19: 13-15 menceritakan bahwa orangtua datang membawa anak-anaknya kepada Yesus. Yesus menyambut dan memberkati anak-anak yang datang.[44] Ibu-ibu di Palestina merasa bahwa sentuhan seseorang seperti itu pada kepala anak-anak mereka akan memberi berkat sekalipun mereka tidak dapat mengerti mengapa.[45] Mengajarkan kepada anak-anak tentang Yesus sejak kecil walaupun mereka belum tahu. Itulah yang menjadi tugas orangtua menyerahkan anaknya kepada Yesus melalui doa-doa mereka. Yesus pun dalam mengajar memberikan teladan kepada setiap orang, Ia tidak hanya berkata namun melakukan apa yang dikatakan. Orangtua pun akan menjadi teladan bagi anak-anaknya karena orangtua yang selalu anak lihat dan selalu bersama dengan anak sejak anak masih kecil.
Tokoh Alkitab lain yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang ialah Timotius. Timotius adalah seorang anak yang dibesarkan oleh ibu dan neneknya yang memberikan pengaruh positif pada diri Timotius. Timotius dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Paulus meyakini bahwa melalui pengaruh dari seorang ibu dan nenek yang saleh, Timotius memiliki teladan yang dapat diikuti dan mendorong Timotius untuk mengingat teladan yang ditinggalkan oleh para wanita ini dengan pengaruh yang telah ditanamkan di dalam hidup mereka.[46] Timotius diharapkan dapat menjadi teladan bagi semua orang dalam perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan, dam kesucian (1 Timotius 4:12).[47] Sebuah contoh keberhasilan seorang ibu dan nenek dalam mengasuh dan mendidik anaknya sehingga anaknya dapat bertumbuh menjadi pribadi yang dapat membawa berkat bagi orang lain.
Dari contoh kedua tokoh di atas memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya pengasuhan anak itu dalam sebuah keluarga. orangtua yang menjadi pusat pendidikan dalam keluarga. Mengasuh anak tidak hanya dengan perkataan saja melainkan lebih kepada teladan yang ditanamkan dalam diri anak. Teladan yang ditunjukkan orangtua sangat memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan anak. Bagaimana anak kelak tergantung dari pola asuh yang orangtua berikan kepada anak. Anak adalah generasi penerus maka persiapkanlah mereka dengan baik untuk masa depan mereka yang lebih baik.
Dalam mengasuh anak pun harus didasarkan pada kasih kepada mereka. Merawat anak dengan penuh kasih bukan dengan amarah yang ada. Karena dengan kasih anak akan bertumbuh dengan baik seperti kisah Timotius yang dirawat dengan penuh kasih sayang. Tidak selalu memberikan anak hukuman karena hukuman dapat membangkitkan amarah dalam hati anak. Dalam Efesus 6: 4 berbunyi “Dan kamu, bapa-bapa janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka didalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Adanya suatu nasihat kepada Ayah untuk tidak membangkitkan amarah dalam hati anak-anaknya. Mendisiplinkan anak tidak dengan kekerasan, tuntutan tak beralasan keras, omelan dan hukuman yang konstan, merendahkan anak pada sebuah penghinaan dan semua bentuk ketidakpekaan yang besar pada kebutuhan dan perasaan seorang anak.[48] Melainkan melainkan menjadi teladan yang patut anak contoh, tidak mengeluarkan kata-kata kasar dan tindakan penghukuman yang berlebihan sehingga membangkitkan amarah dalam hati anak sehingga anak bertumbuh dengan sebuah pemberontakan tidak hormat pada orangtua dan orang-orang disekitarnya.
Untuk itu, diberikan nasihat selanjutnya untuk mengajar mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Membesarkan anak menuju kepada pendewasaan, baik dewasa secara pikiran terlebih dewasa dalam rohani. Membesarkan anak tidak hanya menjadi taat pada otoritas mereka, tetapi bajwa melalui ajaran dan nasihat saleh ini anak-anak mereka kan mengetahui dan mengenal Tuhan sendiri.[49] Membesarkan anak tidak hanya membesarkan mereka secara fisik yang terlihat saja tetapi yang lebih penting ialah mengarahkan mereka pada pengenalan akan Tuhan sehingga mereka bertumbuh menjadi lebih dewasa secar fisik terlebih di dalam iman kepada Tuhan. Ketika anak bertumbuh mengenal Tuhan maka mereka akan bertumbuh lebih dewasa baik secara jasmani terlebih rohani mereka. inilah tugas orangtua untuk bisa membesarkan anak menjadi pribadi yang dewasa secara jasmani dan rohani.

D.    Faktor-faktor Penyebab Perubahan Karakter
Dalam perkembangan karakter akan mengalami perubahan yang memungkinkan untuk menjadi karakter yang baik tetapi juga mengalami perubahan karakter buruk. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain sebagai berikut:
1.      Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor dari dalam diri seseorang yang mempengaruhi kepribadian seseorang. Salah satunya ialah kemauan. Kemauan ialah suatu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu yang merupakan kekuatan dari dalam dan tampak dari luar sebagai gerak gerik.[50] Adanya keinginan seseorang yang kuat dari dalam sehingga itu mempengaruhi dalam perkembangan karakter. Kemauan atau kehendak yang kuat untuk mencoba segala sesuatu yang awalnya hanya ingin tahu tetapi lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan yang memengaruhi karakter seseorang. Kemauan atau kehendak seseorang yanga dilakukan akan menjadi suatu pengalaman.
Pengalaman hidup yang dimiliki akan turut mempengaruhi perubahan akan karakter seseorang sehingga pengalaman-pengalaman hidup yang sudah dirasakan memberikan pengaruh yang besar dalam diri seseorang, entah itu pengalaman yang baik maupun pengalaman yang buruk. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Tetapi terkadang membuat orang terpuruk akan pengalaman buruk yang dialami sehingga mengubah kehidupan seseorang.
Nilai membentuk perilaku seseorang berdasarkan nilai yang diberikan oleh kelompok dimana seseorang berada. Nilai yang membentuk kebersamaan yang membentuk kekuatan dalam kepribadian seseorang. Sistem nilai yang dianut dalam sebuah kelompok dimana seseorang berada turut mempengaruhi kepribadian seseorang sehingga nilai-nlai yang ada dapat memberi pengaruh dalam perkembangan karakter atau kepribadian seseorang dalam suatu lingkungan dimana seseorang berada.[51] Nilai yang berkembang dalam masyarakat akan mempengaruhi karakter seseorang sehingga itu yang akan melekat pada diri seseorang.
2.      Faktor Eksternal
Manusia adalah makhluk social yang memungkinkan manusia harus berinteraksi dengan orang lain. Interaksi dengan orang lain akan turut mempengaruhi karakter seseorang. Faktor dari luar yaitu antara lain:
a.       Keluarga
Peranan lingkungan keluarga, terutama tingkahlaku dan sikap orangtua, sangat penting bagi seorang anak, terlebih lagi pada tahun-tahun pertama dalam kehidupannya.[52] Dalam lingkungan keluarga anak pertama kali menerima didikan dan pengajaran dari orangtua. Orangtua sangat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak. Cara orangtua mengasuh anaknya akan mempengaruhi perkembangan dan pembentukan karakter itu. Dalam keluargalah anak lebih banyak menghabiskan waktunya dari pada lingkungan di luar keluarga. Tak dapat disangkal bahwa melalui keluargalah anak memperoleh bimbingan, pendidikan dan pengarahan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kapasitasnya.[53] Sebelum lingkungan luar yang mempengaruhi karakter anak dalam keluargalah sudah dibentuk.
Karakter yang telah terbentuk sejak kecil akan mengalami perubahan tergantung dari cara orangtua memperlakukan anak pada saat usia dewasa anak dan hubungan harmonis antar anggota keluarga dan teladan yang diberikan orangtua.
b.      Pergaulan
Selain dalam keluarga lingkungan pergaulan dimana anak dapat mendapatkan teman memiliki pengaruh terhadap karakter anak. karakter yang telah terbentuk sejak kecil akan mengalami perubahan tergantung siapa teman pergaulan anak. Teman atau sahabat bagi seseorang memiliki peran yang penting dalam perkembangan kehidupannya karena dengan memiliki teman seseorang terkadang mendapatkan kasih sayang dan kebersamaan. Untuk dapat diterima dalam komunitas maka harus mengikuti budaya yang ada sehingga anak dapat berubah karena teman pergaulannya yang memberikan pengaruh pada dirinya.
c.       Keberagaman dalam lingkungan masyarakat
Budaya merujuk pada pola perilaku, keyakinan dan semua hal yang dihasilkan dari sekelompok orang tertentu yang diteruskan dari generasi ke generasi.[54] Hal yang dihasilkan ini berasal dari interaksi antara kelompok-kelompok orang dan lingkungan mereka berada. Budaya yang ada dalam suatu komunitas tentu berbeda sehingga seseorang akan berusaha berinteraksi dengan menyesuaikan diri dengan budaya yang ada. Dalam menerima budaya terkadang seseorang mengalami tekanan untuk mengembangkan pola kepribadian yang sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya.
Kluckhon berpendapat bahawa kebudayaan meregulasi (mengatur) kehidupan kita dari mulai lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak.[55] Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu dibuat orang lain untuk kita. Memahami budaya yang ada dalam lingkungan tempat seseorang berada merupakan salah satu factor yang mempengaruhi karakter seseorang. 
Manusia merupakan makhluk social yang selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Manusia tidak dapat hidup sendiri karena pada kodratnya manusia membutuhkan orang lain demi kelangsungan dalam hidupnya. Lingkungan masyarakat dimana seseorang tumbuh akan memberikan pengaruh terhadap tingkahlaku seseorang. Nilai-nilai yang ada dalam lingkungan masyarakat setempat akan mempengaruhi bagaimana seseorang bertingkah laku.
Dalam sebuah masyarakat ada namanya norma sosial yakni aturan-aturan yang mengatur bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku. Manusia akan menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat bertahan hidup.[56] Salah satu caranya ialah melakukan setiap aturan yang ada sehingga dapat diterima dengan baik. Lingkungan dimana seseorang bertumbuh mengambil peran yang sangat penting dalam perubahan karakter seseorang. Ini membuktikan bahwa lingkungan memiliki peran yang sangat penting.






BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini, Sebagaimana jelas dalam sub judul, maka penulis akan menggunkan metode penelitian studi kasus yang berciri kualitatif. Studi kasus adalah ‘proses mengkaji kasus” sekaligus “hasil dari proses pengkajian” terhadap system atau masalah yang terbatas. Metode studi kasus mengenal tiga jenis kajian (studi). Pertama, studi kasus intrinsic (intrinsiccasesstudy). Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu, namun karena dalam keseluruhan aspek dan kesederhanaannya, kasus itu sendiri menarik minat. Kedua, studi kasus instrumental (instrumental casesstudy). Jenis ini digunakan meneliti kasus tertentu agar tersaji sebuah prespektif tentang isu atau perbaikan suatu teori. Dalam hal ini, kasus tidak menjadi minat utama; kasus memainkan peranan suportif, yang memudahkan pemahaman kita tentang suatu yang lain. Ketiga, studi kasus kolektif (collectivecasestudy). Kajian ini lebih merupakan pengembangan dari studi instrumental ke dalam beberapa kasus. Tujuannya mengantar peneliti kepada pemahaman yang lebih dan bisa juga menjadi perumusan teori yang lebih baik.[57]
Dari ketiga jenis kajian ini maka penulis memilih menggunakan studi kasus intrinsic dengan harapan kajian yang akan dikaji memberi hasil yang maksimal.

B.     Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data untuk memperkuat penelitian, penulis menggunakan teknik wawancara secara langsung kepada informan yang akan dimintai keterangan atas masalah-masalah dengan melakukan pendekatan interaksi.
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.[58] Untuk mengumpulkan data ada beberapa cara yang dilakukan diantaranya:
a.       Observasi
Observasi adalah bagian yang sangat penting dalam penelitian. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian dengan cara pengamatan. Menurut Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis.[59] Peneliti melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian dan berdasarkan pengalaman peneliti. Observasi dilakukan untuk menjelaskan secara nyata masalah yang didapati oleh peneliti di lapangan.
b.      Wawancara 
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada sipeneliti.[60] Wawancara dilakukan untuk melengkapi hasil observasi. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan informasi melalui percakapan langsung peneliti dengan narasumber yang bersangkutan.
Dalam pengumpulan data melalui wawancara ialah wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara yang dilaksanakan tidak selalu berpatokan dengan pedoman yang ada, tetapi ada hubungannya dengan apa yang diteliti. Peneliti menyiapkan daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan.
c.       Dokumentasi
Dokumentasi adalah sebuah cara yang dilakukan untuk menyediakan dokumen-dokumen dengan menggunakan bukti yang akurat dari pencatatan sumber-sumber informasi khusus dari karangan/ tulisan, wasiat, buku, undang-undang, dan sebagainya.[61] Penulis akan mengumpulkan beberapa informasi dari dokumen-dokumen gereja seperti sejarah gereja, data-data jemaat dan data-data lainnya yang sehubungan dengan yang teliti. Peneliti juga akan mengambil gambar atau foto-foto yang diperlukan.
C.    Informan
Adapun informan pada penelitian ini adalah satu keluarga yakni ibu dan bapak serta anak usia dewasa yang mengalami perubahan karakter orang dewasa yang berdomisili di jemaat Elim Baebunta.

D.    Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif merupakan proses sistematis yang berlangsung terus-menerus, bersamaan dengan pengumpulan data.[62] Mengumpulkan data-data yang akan mendukung proses dalam sebuah penelitian. Setelah mengumpulkan data maka selanjutnya akan dilakukan analisis data. Beberapa hal yang dilakukan dalam analisis data ialah sebagai berikut:
1.      Reduksi Data                                                                         
Reduksi data merupakan bagian dari analisis yang menajamkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.[63] Dalam reduksi data ini penulis mengambil bagian-bagian pokok dan penting selama melakukan pengumpulan data sehingga data-data yang terkumpul dapat membantu dalam penarikan kesimpulan.
2.      Penyajian Data
Menurut Matthew dan Michael penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.[64] Penulis akan memberikannya dalam bentuk deskripsi. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam peyajian data studi kasus intrinsic yakni:
a.       Deskriptif
Menuliskan kasus secara deskriptif yakni menuturkan kisah kasus yang diteliti secara utuh supaya penulis dimudahkan untuk melacak peyabab-peyebab perubahan karakter orang dewasa.
b.      Analisis
Merupakan suatu usaha yang penulis lakukan untuk mencari tahu peyebab dari kasus berdasarkan deskripsi di atas.
c.       Intrepetasi
Bertujuan mempelajari pandangan-pandangan khusus dari pelaku atau makna-makna. Peyebab-peyebab yang berhubungan dengan kajian penelitian.
3.      Menarik Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan suatu bagian akhir dalam sebuah penelitian. Setelah penulis melakukan reduksi dan melakukan penyajian data maka hasil akhir ialah menyimpulkan semua data-data yang ada sehingga penelitian dapat menarik suatu kesimpulan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi dari masalah.
BAB IV
PEMAPARAN HASIL PENELITIAN
A.    Deskripsi
Setelah melakukan penelitian maka penulis akan menuturkan kasus dari objek penelitian melalui wawancara dan observasi yang dilakukan secara langsung pada objek yang bersangkutan sehingga dapat memperoleh informasi dari setiap informan baik orangtua maupun anak yang mengalami perubahan karakter. Kisah dari objek penelitian skripsi ini akan dipaparkan melalui deskripsi. Mariana (nama samaran) berumur 31 tahun merupakan anak dari pasangan suami isteri ayah Abi (nama samaran) dan  ibu Ani (nama samaran). Mariana adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ayah dan ibu dari Mariana pekerjaan mereka sehari-hari ialah petani yang berpenghasilan padi dan coklat. Ibu juga biasanya berdagang di pasar menjual hasil ladang. Keluarga ini merupakan keluarga yang bisa dibilang cukup sederhana tetapi semangat bekerja dari kedua orangtua tidak pernah menyerah. Keluarga ini bisa dikatakan keluarga yang bekerja keras dan disiplin. Semua anak-anak dididik untuk bisa bekerja, mandiri dan tidak manja. Didikan orangtua terhadap anak-anak bisa dikatakan cukup keras karena mengharuskan mereka bisa mengerjakan semua pekerjaan. Karena semua anak adalah perempuan maka pekerjaan yang dilakukan laki-laki pun harus mereka kerjakan.
Sejak masih kecil Mariana sudah dididik untuk bekerja keras dan disiplin. Dia bersama dengan saudaranya sejak kecil sudah harus membantu kedua orangtua bekerja di kebun dan sawah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka semua giat bekerja dan mendengar setiap perintah dan nasehat dari orangtua. Kehidupan Mariana sejak kecil sangatlah polos dibawa koordinir orangtua dia anak yang taat dan rajin. Kedua orangtua juga mengharuskan mereka untuk ke gereja setiap hari minggu dan juga mendukung mereka dalam kegiatan gerejawi. Beliau aktif dalam persekutuan di gereja.
Sejauh pengamatan penulis dan mendengar cerita dari orangtua dan juga yang dekat dengan beliau. Sejak kecil sampai remaja beliau adalah anak yang rajin, taat dan disiplin. Semasa kecil beliau terkadang tinggal bersama dengan nenek orangtua dari bapak.  Mariana hidup bergaul dengan teman-temannya cukup baik.
Menurut Mariana pola asuh yang didapat dari orangtuanya baik. Dia tidak pernah mempersalahkan asuhan dari orangtuanya. Mariana mengakui bahwa keluarganya adalah keluarga yang bertipe pekerja keras jadi mereka dididik dengan keras agar bisa hidup mandiri.
Mariana keluar dari rumah sejak ia tamat di SMP. Mariana memilih untuk pergi keluar rumah bahkan keluar kota untuk meneruskan pendidikannya. Awalnya orangtua tidak mengizinkan tetapi karena niat dan tekad dari Mariana makanya orangtua mengizinkan untuk pergi keluar melanjutkan studinya. Awalnya hanya ada rasa ingin tahu bagaimana rasanya hidup jauh dari jangkauan orangtua makanya dia nekad untuk keluar rumah melanjutkan studinya dan beliau memilih sekolah di Toraja dimana itu tergolong jauh dari orangtua. Orangtua juga sudah memberikan kepercayaan bahwa dia akan bersekolah dengan baik di kampung orang sehingga itu yang membuat Mariana tetap bertahan pada keputusan dan berjanji akan memegang kepercayaan itu apapun yang terjadi pada kehidupannya nanti entah itu kehidupan yang baik maupun kehidupan yang buruk.
Semenjak Mariana keluar dari rumah, dia bergaul dengan banyak orang dari berbagai daerah yang memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga ia harus bisa membawa diri dengan baik dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Mariana mengakui bahwa ada banyak rintangan yang ia hadapi semenjak keluar dari rumah dan jauh dari orangtua mengharuskan harus hidup mandiri. Karena keinginannya banyak membuat dia bergaul dengan banyak orang dan masuk dalam dunia itu dan mengetahui bagaimana rasanya menjadi anak seni, pencinta alam dan berbagai organisasi yang di masuki dan menemukan banyak karakter yang berbeda-beda. Sehingga harus terjerumus dalam pergaulan dan kebiasaan yang buruk. Kebiasaan yang tidak bisa dihindari adalah kebiasaan merokok dan minum minuman keras saat clubbing dan kadang pulang subuh dari tempat ngumpul sama teman-teman. Kebiasaan seperti ini membuat mereka nyaman dan merasa kebersamaan antara satu dengan yang lainnya sehingga kehidupan seperti itu membuat mereka nyaman dan terus melakukannya. Terkadang sadar bahwa apa yang dilakukan itu salah dan tak ada gunanya hidup hura-hura tetapi karena ingin mempertahankan kebersamaan bersama teman-teman maka mereka tetap melakukannya dan rasa bersalah terhadap orangtua juga menghantui mereka. Tetapi itulah karena kebersamaan dengan teman-teman membuat mereka nyaman dengan apa yang mereka lakukan.
Semenjak tamat dari SMK mereka berpisah dan mencari pekerjaan masing-masing. Kebersamaan mereka rindukan dan menjadikan itu pengalaman yang berharga dalam kehidupan mereka. Mariana balik ke Palopo dan bekerja di sana. Kehidupan di kota Palopo semakin berat dan pergaulan pun tidak dapat dihindari. Merokok dan minum-minuman keras tetap dilakukan bersama teman-teman barunya di Palopo. Mariana melakukan semua hanya ingin diterima oleh orang-orang disekitarnya dan bisa menjalin relasi yang baik dengan orang disekitarnya. Karena kehidupan yang tren dan bergaul dengan orang-orang dunia kerja mengharuskan dirinya mengikuti tren itu. Karena tidak ingin ketinggalan dan terlihat beda dengan yang lain maka dia pun berusaha memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain walaupun keadaan ekonomi tidak memungkinkan. Sejauh pengamatan penulis Mariana jarang sekali pulang ke rumah itupun kalau pulang hanya satu sampai dua hari saja di rumah, lebih memilih kumpul bersama-sama teman karena disitu Mariana mendapatkan kenyaman sendiri. Terus mementingkan kumpul bersama dengan teman-teman. Pengaruh pergaulan di lingkungan teman beliau berada tidak bisa dihindari sehingga membuat hidupnya tetap mengikuti tren yang ada. Pengalaman hidupnya membuatnya tetap nyaman dengan keadaan yang ada.

B.     Analisis
Dari kisah Mariana dapat disimpulkan bahwa semasa kecilnya Mariana merupakan anak yang memilki karakter yang baik. Anak ini adalah anak yang taat dan hormat kepada orangtua, suka membantu orangtua bekerja baik pekerjaan di rumah, kebun dan sawah serta memiliki sikap yang sopan santun kepada semua orang, serta selalu bersikap jujur. Akan tetapi setelah umurnya sudah dewasa karakter yang baik itu berubah menjadi karakter yang buruk. Karakter yang tidak sesuai dengan karakternya semasa kecil. Mariana menjadi anak yang tidak taat dan tidak melakukan nasehat orangtua serta suka merokok dan minum-minum keras. Karakter Mariana mulai berubah semenjak di usianya mulai semakin matang. Di usia yang seharusnya memilki karakter dan kepribadian yang matang dan mampu bersikap secara dewasa tetapi dalam diri Mariana tidak menunjukkan hal demikian. Oramg yang matang pribadi dan jiwanya mestinya tau apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah. Ia menjadi pribadi yang mandiri dan mampu mengambil keputusan. Orang yang dewasa tidak akan mudah dipengaruhi orang lain untuk berubah pendapat dan pikirnya. Orang yang sudah dewasa berarti sudah memiliki pegangan yang kuat. Akan tetapi Mariana mengalami perubahan karakter yang jauh berbeda dengan kehidupan masa kecilnya dan usia dewasanya. Penyebab perubahan karakter dari kisah kehidupan Mariana disebabkan oleh beberapa faktor baik dalam diri sendiri maupun dari lingkungan luar tempat dimana Mariana berada dan apa yang diterima di lingkungan sekitarnya, maka berikut ini faktor-faktor yang mendukung akan perubahan karakter adalah sebagai berikut:

1.      Faktor Internal
Berdasarkan wawancara dengan narasumber dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan Mariana itu berasal dari keinginan dan dorongan yang kuat dalam dirinya sehingga itu mempengaruhi gerak-geriknya. Adanya keinginan untuk pergi keluar kota dan merasakan bagaimana harus jauh tinggal bersama dengan orangtua serta melihat teman-temannya juga bersekolah diluar kota mengakibatkannya untuk ikut juga bersekolah diluar kota. Ternyata apa yang dialami tidak seperti yang dipikirkannya. Mariana tidak mampu mengendalikan dirinya sehingga ia ikut-ikutan dengan apa yang dilakukan teman-temannya. Ketidakmampuan diri dalam mengendalikan keinginan diri akan berakibat buruk pada kehidupan sendiri. Tidak adanya pikiran yang matang untuk memikirkan kehidupan di luar sana makanya keinginan yang muncul langsung dilakukan. Kurangnya pengendalian diri dan memikirkan akibat dari keputusan yang diambil. Seperti dalam Amsal 25:28 mengatakan bahwa “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya”. Keinginan yang menghacurkan kebiasaan yang baik yang sudah dilakukan dari kecil sehingga kebiasaan yang baru akan lebih tertanam.
Pengalaman hidup yang diterima dari keluar yang mengajarkan untuk bisa hidup bekerja keras membuat Mariana bisa tetap bertahan hidup dengan bekerja dengan orang lain. Pendidikan dari orangtua yang mengajarkan bagaimana harus bekerja menghasilkan uang merupakan sesuatu yang membuat Mariana dapat bekerja dengan baik sehingga membuat dapat bertahan hidup dan tetap bersekolah di kampung orang. Akan tetapi nilai-nilai yang ada dalam kelompok tempat Mariana bergabung membuat suatu tekanan dalam dirinya sehingga harus mengikuti kebiasaan hidup orang-orang disekitarnya agar mampu diterima orang lain sehingga dapat membentuk kebersamaan dan kekuatan dalam sebuah kelompok tetapi kurang pengendalian diri maka harus terbawa dengan kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh orang lain.

2.      Faktor Eksternal
a.       Keluarga
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber. Keluarga merupakan tempat pertama kali dia mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Kedua orangtua senantiasa memelihara, merawat dan mendidik mereka dengan baik. Bersikap sopan santun dan berbicara dengan baik terus diajarkan oleh kedua orangtuanya. tugas dan tanggungjawab orangtua untuk merawat, membimbing serta mendidik anak sudah diterapkan oleh orangtua Mariana. Tugas dan tanggungjawab itu pun disadari bahwa anak adalah titipan Allah yang harus mereka jaga dan mengarahkan hidup mereka pada pengenalan akan Allah. Seperti perintah dalam Ulangan 6:4-9 bagi umat Israel bagaimana harus merawat, membimbing serta mendidik anak-anak. Perintah itu bukan hanya untuk orang-orang Israel tetapi bagi setiap umat Allah yang percaya kepadaNya. Mariana mengakui bahwa dia dididik dengan baik, disiplin dan juga diberikan kebebasan. Akan tetapi kebebasan yang diberikan ini terkadang disalah gunakan oleh Mariana. Kebebasan yang diberikan pun tidak diberikan batasan. Bebas artinya mereka bebas melakukan apa yang diinginkan asal pekerjaan di rumah sudah terselesaikan. Orangtua juga terkadang tidak mengontrol teman bergaul anak, sehingga mereka kurang terkontrol dalam hal bergaul karena anak sudah diberikan kepercayaan bahwa mereka mampu membawa diri mereka dengan baik. Orangtua tidak pernah tahu bagaimana kehidupan teman-teman bergaul anaknya. Seharusnya orangtua juga ikut terlibat dan seperti sahabat bagi anak-anaknya agar tahu juga teman bergaul anak sehingga anak mampu dikontrol dengan baik.
b.      Pergaulan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Mariana. Mariana sangat terpengaruh dengan teman-teman bergaulnya karena ingin dibilang bisa sama dengan teman-teman yang lain maka Mariana melakukan semua kebiasaan yang teman-temannya lakukan. Mariana tak mampu mengendalikan diri dan menolak setiap apa yang diinginkan dan dilakukan teman-teman untuk tetap terjaganya kebersamaan dan kesatuan dengan teman-teman yang lainnya. Karakter yang sejak kecil menunjukkan kepolosan dan ketaatan serta selalu mendengar nasehat orangtua itu berubah menjadi kepribadian yang buruk. Dalam 1 Korintus 15:33 mengatakan bahwa “Janganlah Kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Karena Mariana memiliki pergaulan yang buruk dalam lingkungan pergaulannya bersama dengan teman-temannya maka kebiasaan baik yang sudah tertanam sejak kecil berubah menjadi kebiasaan yang buruk.
Kebiasaan yang tidak bisa dihindari Mariana dari teman-temannya ialah kebiasaan merokok, kumpul di club malam sampai harus pulang pagi, dan minum-minuman keras. Kebiasaan yang sangat buruk dan seharusnya tidak dilakukan oleh Mariana. Tanpa disadari bahwa kebiasaan itu membuat tubuh rusak dan tubuh sendiri adalah bait Allah yang seharusnya dijaga dan menghindari kebiasaan yang dapat merusak tubuh (bnd. 1 Kor. 6:19).  Mariana merusaknya dengan melakukan kebiasaan yang tidak baik dan seharusnya tidak dilakukan. Terbawa harus pergaulan memang tidak dapat terhidarkan tetapi ketika mampu mengendalikan diri yang memikirkan segala sesuatu dengan matang maka kebiasaan buruk tidak akan memberi pengaruh serta pintar-pintarlah dalam memilih teman dan bergaul dengan orang lain agar kebiasaan yang baik tidak akan berubah menjadi kebiasaan yang buruk.  


c.       Keberagamaan dalam lingkungan masyarakat
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber mengatakan bahwa budaya yang ada disekitar tempatnya berada memberikannya suatu tekanan karena harus mengikuti hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaannya sendiri. Kesulitan yang dirasakan membuatnya harus mengikuti budaya yang ada dan mengikuti kebiasaan yang sudah ada dalam lingkungan tersebut agar mampu diterima dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Budaya atau kebiasaan itu pun mempengaruhi kepribadian atau karakter yang sudah tertanam dalam dirinya karena itu harus menjadi sebuah kebiasaan yang baru dilakukan dan akan terus dilakukan selama berada di tempat tersebut. Budaya yang ada bisa saja diikuti akan tetapi budaya yang bertentangan dengan apa yang diyakini bisa saja kita tolak dan tetap berusaha bersikap baik dengan cara menghargai kebiasaan tersebut tanpa harus mengikutinya.
Manusia merupakan makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Dalam Alkitab pun diajarkan demikian bagaimana arus membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan orang lain. Yesus sendiri merupakan teladan yang baik. Ia tidak membeda-bedakan orang lain malahan Yesus bergaul dengan orang-orang yang tersingkirkan (bnd. Lukas 7:36-50 dan Markus 2:13-16. Paulus pula menekankan untuk tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi mementingkan pula kepentingan orang lain sehingga hubungan dengan orang lain tetap terjaga dengan baik (Filipi 2:3-4). Dalam kehidupan Mariana pun bergaul dengan orang-orang disekitarnya dan berusaha untuk mengikuti setiap aturan yang ada. Mariana hidup dalam lingkungan masyarakat yang berbeda dengan lingkungan kehidupannya sebelumnya. Secara tidak langsung kebiasaan dan aturan dalam masyarakat dimana seseorang berada harus dipatuhi dan diikuti untuk dapat bertahan hidup dalam lingkungan tersebut. Nilai-nilai yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat dimana akan memberi pengaruh terhadap kebiasaan dan karakter yang sudah dimiliki sehingga lingkungan masyarakat pun mempengaruhi akan perkembangan karakter seseorang, sehingga karakter itu berubah mengikuti nilai-nilai dan aturan yang ada dalam lingkungan masyarakat. Tidak ada salahnya untuk bergaul dengan masyarakat sekitar karena tanpa bergaul dengan masyarakat tempat dimana kita berada maka kita akan terasa hidup sendiri dan tidak akan ada orang yang akan mengenal dan menolang ketika mengalami kesulitan. Pintar-pintar untuk bergaul dan ,membawa diri dalam lingkungan masyarakat sangat penting karena lingkungan dimana seseorang berada akan membentuk karakter dan kepribadian seseorang yang mengkibatkan kepribadaian yang baik akan berubah menjadi buruk jika tidak mampu untuk melihat perbuatan baik yang bisa diikuti.











BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam bentuk wawancara dan observasi dalam sebuah masalah yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa penyebab perubahan karakter yang terjadi pada seorang anak yang sudah dewasa ternyata dipengaruh oleh beberapa faktor baik itu dalam diri yakni dorongan dan keinginan yang kuat dalam melakukan apa yang diinginkan sehingga mempengaruhi gerak-gerik seseorang serta pengalaman hidup yang telah dialami semasa kecilnya yakni didikan dari orangtua yang menerapkan pola asuh bebas dan terkadang juga otoriter yang berakibat anak tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Pengaruh dari luar seperti keluarga, pergaulan, budaya dan lingkungan masyarakat sangat memberi pengaruh yang besar terhadap perubahan karakter. Karakter yang sudah terbentuk sejak kecil dengan baik tetapi pada usia dewasa berubah karena adanya pengaruh lingkungan dan pergaulan dengan orang lain yang kurang perhatian dari orangtua yang sudah memberikan kebebasan dan kepercayaan kepada anak.
Bisa dikatakan bahwa keberadaan orang lain dapat memberi pengaruh terhadap karakter seseorang seperti yang dialami oleh Mariana. Untuk itu pandailah dalam bergaul karena pergaulan dapat mengubah karakter seseorang baik itu karakter baik mapun karakter buruk.
B.     Saran
1.      Pihak kampus
Pihak kampus pun mengambil bagian dalam pembentukan dan pengembangan akan karakter pada anak karena kampus merupakan lingkungan masyarakat dimana anak juga mengalami proses belajar dan tempat bergaul anak sehingga kampus pun turut mengambil bagian dalam perubahan karakter anak.  
2.      Gereja
Lingkungan gereja pun mengambil bagian dalam pembentukan dan pengembangan karakter anak. Lingkungan pergaulan anak pun ada dalam lingkungan gereja. Sikap gereja terhadap anak-anak akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan karakter anak terutama dalam hal spiritual anak.
3.      Para orangtua
Orangtua diharapkan mampu untuk memberikan kenyamanan kepada anak dan mengenal teman bergaul anak-anak sehingga mampu untuk mengendalikan dan mendidik anak ketika harus mengalami perubahan karakter. Orangtua harus menyadari bahwa apa yang lingkungan di luar keluarga akan ikut mempengaruhi karakter anak sehingga kontrol orantua terhadap akan trus berlangsung sampai anak sudah dewasa.   


DAFTAR PUSTAKA
-          Alkitab
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia. 2014.
-          Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga.
2007 Jakarta: Balai Pustaka.
Santoso Ananda. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Pustaka Dua.
-          Referensi Buku
Ansori, Muslim dkk. Pendidikan Karakter Wirausaha. Penerbit Andi.
Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius Pasal 11-29. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2012.
Barker, Paul. Kitab Ulangan: Allah yang Menepati Janji-JanjiNya. Jakarta: Literatur Perkantas. 2014.
Brake, Andrew. Hidup Bijak di Dunia yang Bodoh. Bandung: Kalam Hidup. 2015.
Budiman, R. Surat 1 & 2 Timotius dan Titus: Surat-surat Pastoral. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2012.
Daymon, Christine. Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Bentang. 2008.
de Heer, J. J. Tafsiaran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
Gunarsa, Singgih D. dan Y. Singgih D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008.
Gunarsa, Singgih D. dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Penerbit Libri. 2011.
Gunarsa, Singgih D. Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
J. Cairns, I. J. Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11. Jakarta: Gunung Mulia. 2003.
Koesoemo A, Doni. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyuluruh. Yogyakarta: Kanisius. 2012.
Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara. 1995.
Murdoko, E. Widijo Hari. Parenting With Leadership: Peran Orangtua Dalam Mengoptimalkan Dan Memberdayakan Potensi Anak. Jakarta: Gramedia. 2017.
Naisaban, Ladislaus. Para Psikologi Terkemuka Dunia. Jakarta: Grasindo. 2004.
Paterson, Robert M. Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis: 1 & 2 Samuel. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2017.
Payne, David F. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: 1 dan 2 Samuel. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2017.
Pervin, Lawrnce A. Daniel Cervone dan Oliver P. John. Psikologi Kepribadian: Teori & Penelitian, Edisi Kesembilan. Jakarta: Kencana, 2010.
Pongrapi, Tison. Studi Kasus: Tentang Praktik Pembinaan Bagi Anak Usia 2-5 Tahun Dalam Keluarga, SKRIPSI. STAKN Toraja. 2016.
Richards, Lawrence O. Pelayanan kepada Anak-Anak: Mengayomi Kehidupan Iman dalam Keluarga Allah. Bandung: Yayasan Kalam Hidup. 2007.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan Edisi 3 buku 1. Jakarta: Salemba Humanika. 
Sidjabat, B. S. Pendewasaan Manusia Dewasa:Pedoman Pembinaan Warga Jemaat Dewasa dan Lanjut Usia. Bandung: Klaam Hidup. 2014.
Sidjabat, B.S. Membesarkan Anak dengan Kreatif. Yogyakarta: ANDI. 2009.
Sinulingga, Risnawaty. Tafsiran Alkitab: Amsal 10:1-22:16. Jakarta: Gunung Mulia. 2012.
Siregar, Syofian. Statistik Parameter untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.
Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan. Yogyakarta: ANDI. 2017.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 2012.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. 2009.
Sujanti, Agus. Psikologi Umum. Jakarta: Bumi Aksara. 2012.
Suprijanto, H. Pendidikan Orang Dewasa dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Surbakti, E. B. Kenalilah Anak Remaja Anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 2009.
T. O’brien, Peter. Tafsiran Pilihan Momentum: Surat Efesus. Surabaya: Momentum. 2013.
Thomas, Gary. Sacred Parenting: Tanggung Jawab Mengasuh Anak Membentuk Hati Para Orangtua. Yogyakarta: Gloria Usaha Mulia. 2015.
Tim Penulis Fakultas Psikologi UI. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. 2009.
Wibowo, Agus & Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter. Yogyakarta: Pustaka. 2012.
Wibowo, Agus Pendidikan Karakter Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pusataka Pelajar. 2013.
Widyarini, M.M. Nilam. Relasi Orangtua & Anak. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2009.



-          Internet
Bk-sahabathatianda.blogspot.com diakses tangal 9 Juni 2018 pada pukul 22:15.
http//staffnew.uny.ac.id diakses tanggal Kamis, 21 Juni 2018 pukul 06.30. 
https://id.m.wikipedia.org diakses pada hari Sabtu, 21 April 2018 pukul 10:41.
















JADWAL PENELITIAN

Kegiatan
BULAN

Oktober
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Pengajuan Proposal








Penyusunan Proposal








Seminar Proposal








Penelitian








Ujian Skripsi











[1] BS. Sidjabat, Membesarkan Anak dengan Kreatif, (Yogyakarta: ANDI, 2009), 17.
[2] Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: Penerbit Libri, 2011),  h. 3.
[3] Agus Wibowo & Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2012), h. 41.
[4] Doni Koesoemo A, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyuluruh (Yogyakarta: Kanisius, 2012), h. 55.
[5] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi: Membangun Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2013), h. 34-36.
[6] Muslim Ansori dkk, Pendidikan Karakter Wirausaha (Penerbit Andi), h. 1.
[7] Ladislaus Naisaban, Para Psikologi Terkemuka Dunia (Jakarta:Grasindo, 2004), h. 19-20.
[8] http//staffnew.uny.ac.id diakses pada tanggal Kamis, 21 Juni 2018 pukul 06.30.
[9] Ananda Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Pustaka Dua, ), h. 114.
[10] Singgih D. Gunarsa dan Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 128.
[11] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima (Jakarta: Erlangga,), h. 246.
[12] B. S. Sidjabat, Pendewasaan Manusia Dewasa:Pedoman Pembinaan Warga Jemaat Dewasa dan Lanjut Usia (Bandung: Klaam Hidup, 2014), h. 1-2.
[13] H. Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa dari Teori HIngga Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 11-12.
[14] B. S. Sidjabat, Pendewasaan Manusia Dewasa: Pedoman Pembinaan Warga Jemaat Dewasa dan Usia Lanjut (Bandung: Kalam Hidup, 2014), h. 2.
[15] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan (Yogyakarta: ANDI, 2017), h. 339.
[16] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 75.  
[17] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan: Menyiapkan Generasi Penerus yang Kuat dan Bertindak sampai Generasi Keempat (Yogyakarta:ANDI, 2017), h. 107.
[18] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 77.
[19] M.M. Nilam Widyarini, Relasi Orangtua & Anak (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), h. 11.
[20] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 77.

[21] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Usia Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 77.

[22] M.M. Nilam Widyarini, Relasi Orangtua & Anak (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), h. 11.
[23] E. B. Surbakti, Kenalilah Anak Remaja Anda (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009) h. 51.
[24] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan (Yogyakarta: ANDI, 2017), h. 339.
[25] Dr. Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi Perkembangan (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), hal. 386.
[26] Ibid, h. 297.
[27] Lawrence A. Pervin, Daniel Cervone dan Oliver P. John, Psikologi Kepribadian: Teori & Penelitian, Edisi Kesembilan (Jakarta: Kencana, 2010),  h. 13.
[28] Ibid h. 19.
[29] E. Widijo Hari Murdoko, Parenting With Leadership: Peran Orangtua Dalam Mengoptimalkan Dan Memberdayakan Potensi Anak (Jakarta: Gramedia, 2017), h. 18.
[30] Ibid, h. 19-24.
[31] Lawrence O. Richards, Pelayanan kepada Anak-Anak: Mengayomi Kehidupan Iman dalam Keluarga Allah (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2007), h. 25.
[32] Paul Barker, Kitab Ulangan: Allah yang Menepati Janji-JanjiNya (Jakarta: Literatur Perkantas, 2014), h. 61.
[33] I. J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h. 132.
[34]Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan (Yogyakarta: ANDI, 2017), h 325.   
[35] I. J. Cairns, Tafsiran Alkitab: Kitab Ulangan Pasal 1-11 (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), h. 135.
[36] Ibid. 135.
[37] Risnawaty Sinulingga, Tafsiran Alkitab: Amsal 10:1-22:16 (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), h. 393.
[38] Andrew Brake, Hidup Bijak di Dunia yang Bodoh: Menggali Sumber Hikmat Sejati dari Kitab Amsal (Bandung: Kalam Hidup, 2015), h. 119.
[39] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan (Yogyakarta: ANDI, 2017), h 310.
[40] David F. Payne, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: 1 dan 2 Samuel (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), h. 26.
[41] Robert M. Paterson, Tafsir Alkitab Kontekstual-Oikumenis: 1 & 2 Samuel (Jakartta: BPK Gunung Mulia, 2017), h. 27.
[42] Andrew Brake, Hidup Bijak di Dunia yang Bodoh (Bandung: Kalam Hidup, 2015), h. 118.
[43] Sudiyono dan Ruth Purweni, Generasi Akhir Zaman yang Dirindukan Tuhan (Yogyakarta: ANDI, 2017), h 308.
[44] J. J. de Heer, Tafsiaran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 378.
[45] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius Pasal 11-29 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 336.
[46] Gary Thomas, Sacred Parenting: Tanggung Jawab Mengasuh Anak Membentuk Hati Para Orangtua (Yogyakarta: Gloria Usaha Mulia, 2015), h. 247.
[47] R. Budiman, Surat 1 & 2 Timotius dan Titus: Surat-surat Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 41.
[48] Peter T. O’brien, Tafsiran Pilihan Momentum: Surat Efesus (Surabaya: Momentum, 2013), h. 543.
[49] Ibid, 544.
[50] Agus Sujanti, Psikologi Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 84.
[51] Mediatus Tanyid, Bahan Ajar Mata Kuliah Psikologi Sosial.
[52] Singgih D. Gunarsa dan Yulia Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja ( Jakarta: Penerbit Libri, 2011), h. 152.
[53] Ibid, h. 153.
[54] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi 3 Buku 1 (Salemba Humanika), h. 191. 
[55]Bk-sahabathatianda.blogspot.com diakses tanggal 9 Juni 2018 pada pukul 22:15.
[56] Tim Penulis Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial  (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 106.
[57] Tison Pongrapi, Studi Kasus: Tentang Praktik Pembinaan Bagi Anak Uisa 2-5 Tahun Dalam Keluarga, SKRIPSI (STAKN Toraja, 2016), h. 40.
[58] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 224.
[59] Ibid, h. 203.
[60]Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 64
[61] https://id.m.wikipedia.org diakses pada hari Sabtu, 21 April 2018 pukul 10:41.
[62] Christine Daymon, Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications (Yogyakarta: Bentang, 2008) h. 367.
[63] Hamid Patilima, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 101.
[64] Ibid, h. 101.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "perubahan karakter pada orang dewasa di Gereja Toraja Jemaat Elim Baebunta Klasis Rongkong Sabbang-Baebunta"

Post a Comment