Dekalog Ke-5



Penerapan Hukum Kelima &
 Pendidikan Kristiani Dalam Keluarga
James A. Lola, M.Th*

Abstract
Keluarga adalah tempat pertama dan utama serta tempat yang paling strategis bagi seorang anak untuk bertumbuh dan berkembang menjadi seorang pribadi yang utuh, karena di dalam keluargalah seorang anak dapat belajar banyak hal tentang moral, kehidupan dan iman. Dalam hal ini peran daripada orang tua sangatlah signifikan dalam membentuk kepribadian seorang anak, bahkan diharapkan bahwa kehidupan yang harmonis dari orang tua dapat membantu seorang anak untuk mengembangkan diri di lingkungan dan di masyrakat serta bangsa dan negara. Oleh karena itu, maka dalam keluarga seorang anak harus diajarkan mengenai bagaimana mentaati orang tua karena perintah untuk menaati orang tua adalah perintah yang teramat sangat penting dalam sebuah keluarga Kristen, karena implikasi dari perintah ini tidak hanya mencakup kepada kelangsungan sebuah keluarga saja tetapi juga kepada kelangsungan hidup suatu bangsa.

A.    Pendahuluan

Walter H. Norvell menulis, “Kekristenan merupakan agama pengajaran” [Christianity is a teaching religion].[1] Klaim ini tepat karena kekristenan berakar dalam Wahyu Allah. Allah mewahyukan diri-Nya melalui Wahyu Umum dan Wahyu Khusus agar mengajar dan memperkenalkan Diri dan kehendak-Nya bagi manusia. Penulis Kitab Ibrani menyatakan bahwa dari jaman ke jaman Allah berbicara melalui pribadi dan sarana yang berbeda dan pada puncaknya melalui Anak-Nya, Yesus Kristus (Ibr. 1:1-2). Allah adalah Pengajar yang Agung.[2]
Jika demikian, maka pendidikan Kristen merupakan bagian dari pelayanan gereja  yang sangat penting. Hal ini terlihat di mana Tuhan sendiri di dalam Alkitab  menekankan pentingnya pendidikan Kristen bagi umat-Nya. Di dalam Alkitab Perjanjian Lama, Tuhan memerintahkan Harun untuk mengajarkan ―kepada anak-anak orang Israel segala  ketetapan yang telah difirmankan Tuhan kepada mereka dengan  perantaraan Musa‖ (Imamat 11:10). Tugas ini juga diturunkan  kepada para imam yang melayani di Israel (Ulangan 24:8; 31:9; 33:8)
Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri menekankan pentingnya pendidikan Kristen, sehingga di dalam amanat agung-Nya, Ia berkata: Karena itu pergilah....jadikan semua bangsa murid-Ku....baptislah....dan ajarlah mereka.....(Matius 28:19,20). Tuhan Yesus memberikan tugas kepada murid-murid-Nya yang adalah cikal bakal pemimpin gereja untuk memberikan pengajaran yang benar dan serius kepada mereka yang akan dilayani. Oleh sebab itu, pendidikan Kristen merupakan bagian dari perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh gereja.
Rasul Paulus juga  menekankan pentingnya pendidikan Kristen bagi jemaat (Efesus 4:11-12; I Timotius 3:2). Dengan kata lain,  pendidikan Kristen merupakan salah satu pelayanan yang tidak boleh diabaikan oleh gereja. Gereja  tanpa pendidikan Kristen bukanlah gereja yang sehat.[3]
Dalam era yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, Gereja dituntut untuk lebih lagi menekankan pengajaran iman yang dapat menjawab tantangan zaman ini, dan salah satunya adalah dengan memberikan perhatian yang lebih besar kepada pendidikan di dalam keluarga.
Hal ini didasari kepada fakta bahwa sebuah bangsa yang kuat (baca:bermoral) dimulai dari masyarakat yang juga kuat dan masyarakat yang kuat di mulai dari keluarga yang kuat juga. Dengan kata lain pembentukan sebuah bangsa di mulai dari keluarga.
Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama,dalam membentuk jati diri para generasi muda, Anak sebagai generasi penerus harus memiliki jati diri masyarakat dan bangsanya.Perwarisan nilai-nilai budaya sangat mungkin dilakukan di keluarga. Pendidikan dalam keluarga yang tepat dan benar,merupakan modal dasar bagi perkembangan suatu bangsa.
Keluarga adalah lembaga pendidikan pertama yang membentuk alam spiritual dan moral seseorang dan bangsa; lembaga pendidikan yang memberikan makna martabat manusia, kepribadian individu dan kehidupan demokrasi., membentuk standar individu dan integritas kelompok.
Tanpa keluarga yang sehat dan harmonis, akan terjadi apa yang disebut dengan degradasi moral dalam perilaku hidup kebangsaan. Hilangnya kejujuran, kebenaran, keadilan dan keberanian, dan digantikan oleh penyelewengan-penyelewengan, baik yang terlihat ringan maupun berat; banyak terjadi adu domba, hasud dan fitnah, menjilat, menipu, berdusta, mengambil hak orang lain sesuka hati, di samping juga perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.[4]
Keluarga adalah tempat yang aman dan menyenangkan apabila dalam keluarga terdapat kebahagiaan, sukacita, saling memiliki dan saling melengkapi. Andreas Christanday mengatakan, “Rumah tangga yang saling mengasihi dan saling memiliki adalah keluarga sebagai tempat yang paling aman dan nyaman untuk berlindung.”[5]
Salah satu prinsip utama dalam pendidikan di dalam keluarga adalah apa yang tertuang di dalam hukum kelima dari sepuluh hukum (dekalog) yaitu perintah untuk menghormati orang tua Keluaran 20:12 "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu."
Perintah ini, pada masa kini, seperti telah dilupakan oleh sebagian banyak keluarga dan bahkan Gereja, hal ini terlihat dari fakta yang terjadi hampir di setiap keluarga di mana penghargaan dan penghormatan terhadap orang tua hampir-hampir tidak terlihat lagi, oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengkaji secara mendalam  apa maksud dari perintah ini dalam perspketif eksegese dan  relevansinya bagi pendidikan Kristiani dalam keluarga

B.     Hukum Kelima: Menghormati Orangtua (Kel. 20:12; Ul. 5:16; Imamat. 19:3)

Dalam bagian ini penulis akan  mengeksegesis beberapa teks PL berkaitan dengan  perintah untuk menghormati orangtua dalam Dekalog (Dasa Titah; 10 Hukum) yaitu Keluaran 20:12; Ulangan 5:16 dan Imamat 19:3.
Ada beberapa isu kritis yang didiskusikan di kalangan para penafsir berkenaan dengan Dekalog (berasal dari gabungan dua kata Yunani: deka – sepuluh; dan logos – kata, atau pernyataan dan kadang-kadang digunakan dalam arti hukum).[6] dalam Keluaran 20:1-17,[7] namun sebagai pengantar untuk membahas perintah kelima, penulis hanya akan membahas salah satunya. Dalam Keluaran 31:18, dikatakan bahwa Tuhan memberikan dua loh batu kepada Musa yang berisi Dekalog. Lontaran ini menimbulkan dua kemungkinan pengertian. Pertama, lontaran ini berarti Dekalog diberikan dengan disertai salinannya – artinya, Dekalog ditulis secara utuh dalam sebuah loh batu kemudian loh batu yang satunya lagi merupakan salinannya. Tafsiran ini mengambil dukungan dari kebiasaan para raja Timur Dekat Kuno (Ancient Near Eastern) yang biasanya membuat salinan dari hukum-hukum yang mereka tulis. Dan kedua, kedua loh batu itu masing-masing berisi perintah-perintah yang terkelompok menjadi dua bagian – tafsiran ini membuat sejumlah penafsir menyatakan bahwa loh batu yang pertama berisi perintah-perintah yang berkait dengan tanggung jawab terhadap Tuhan (hukum ke-1 hingga hukum ke-4) dan loh batu yang kedua berisi perintah-perintah yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap sesama. Kadang-kadang, mereka yang menerima tafsiran yang kedua mengambil dukungan dari kata-kata Yesus Matius 22:37-40, lalu menyatakan bahwa loh batu yang pertama berisi perintah-perintah untuk mengasihi Allah, dan loh batu yang kedua berisi perintah-perintah untuk mengasihi manusia.[8] Entah dalam pengertian tafsiran yang pertama atau yang kedua, yang jelas hukum kelima: “Hormatilah Ayahmu dan ibumu” memang mengawali perintah-perintah yang berkenaan dengan sikap terhadap sesama.[9]
Perlu dicatat juga bahwa perintah ini juga memiliki kaitan latar belakang dengan Kejadian 2:24 yang berbicara mengenai pembentukkan keluarga oleh Tuhan sendiri yang dimulai dengan pernikahan. Fokus dari bagian ini adalah unsur kolektivitas dari keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan keluarga dari kedua belah pihak. Meski demikian, seperti yang dijelaskan oleh Hagith Sivan, Keluaran 20:12 merupakan bentuk sempitnya di mana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya adalah: ayah-ibu-anak.[10]
Salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan dari perintah kelima ini adalah bahwa  perintah lebih bersifat suruhan, dan juga perintah yang mengandung janji berbeda dari empat perintah pertama yang lebih bersifat larangan (bnd. Kel. 21:15; Im. 20:9; Ul. 21:18-19).[11] Pada poin ini penulis akan memperhatikan tiga pokok utama berkenaan dengan perintah menghormati orangtua dalam Keluaran 20:12.
Pertama, apakah yang dimaksud dengan “hormatilah”? Kata Ibrani yang digunakan untuk kata 'hormatilah' adalah kata dbeK'((((( (khabed) yang ada dalam bentuk piel (perintah). Kata ini secara mendasar memiliki beberapa arti, yaitu: “memiliki bobot, memiliki berat yang membebani, dan menghormati”.[12] Bruce K. Waltke dan Charles Yu menjelaskan bahwa arti-arti leksikal seperti “memiliki bobot, memiliki berat yang membebani” secara idiomatik digunakan untuk menandai sikap menganggap seseorang memiliki bobot atau kualitas yang patut dihormati. Kata ini sering digunakan dalam konteks penyembahan (worship), misalnya dalam Mazmur 86:9 dan sangat mungkin paralel dengan kata War"yTi (tira’u. Im. 19:3) yang berarti “takut [dalam pengertian menghormati/menyegani]”. Istilah ini biasanya digunakan juga untuk sikap takut [dalam pengertian menghormati] Tuhan.[13] Demikian pula mengenai kata “menghormati” di sini, Ryken menyatakan: “Ini adalah kata yang secara literal digunakan untuk sesuatu yang memiliki bobot atau berat. Kata ini digunakan dalam Perjanjian Lama untuk kemuliaan Allah, untuk keberbobotan dari kemuliaan ilahi-Nya.”[14] Mengenai makna “menghormati” orang tua, Ryken menulis:

Menghormati orangtua seseorang, karena itu, berarti memberikan bobot yang seharusnya bagi posisi mereka. Itu berarti menganggap bahwa mereka layak untuk mendapat penghormatan karena otoritas terberi yang mereka miliki dari Tuhan. Menghormati berarti menghargai, mentakzim, menganggap bernilai, dan memandang ayah serta ibu sebagai pemberian dari Allah.[15]

            Dengan penekanan yang lebih aplikatif, J.I. Packer mengartikan “menghormati” orangtua di sini dalam arti “menghargai mereka dalam perkataan, memperhatikan kepentingan mereka, menjaga relasi dengan mereka, sebagaimana halnya kita menghargai para imam dan para pejabat pemerintah terlepas dari apa pun yang kita pikirkan mengenai keterbatasan pribadi atau kehidupan privat mereka.”[16]
Kedua, frasa “ayahmu dan ibumu” (^M,ai-ta,w> ^ybia'-ta,) perlu dielaborasi dalam kaitan dengan konteks dan juga jangkauan pengertiannya.
a.       Dalam kaitan dengan konteks budaya jaman itu, ada satu penekanan menarik yang perlu diperhatikan. Perintah itu berbunyi “Hormatilah ayahmu dan ibumu” [huruf miring sebagai penekanan dari penulis]. Ryken menjelaskan bahwa dalam bagian-bagian lain, Alkitab memberikan penekanan bahwa seorang ayah memanggul tanggung jawab unik sebagai pemimpin spiritual dalam keluarga. Meski demikian, perintah ini dengan jelas menyejajarkan ayah dan ibu untuk menerima bobot penghormatan yang sama (bnd. Ams. 6:20). Bahkan dalam Imamat 19:3, yang disebutkan lebih dahulu adalah menghormati “ibu dan ayah”.[17] John I. Durham menegaskan bahwa penyejajaran antara ayah dan ibu dalam menerima sikap hormat yang sama dalam perintah ini harus diakui tidak memiliki paralelnya dalam konteks kebudayaan bangsa-bangsa lain di sekitar Israel pada waktu itu. Alkitab memang memberikan kesan patriakhal, namun dalam perintah ini jelas sekali bahwa Tuhan tidak mengistimewakan ayah ketimbang ibu. Keduanya harus mendapatkan sikap hormat yang sama dari anak-anaknya.[18]
b.      Dalam kaitan dengan jangkauan pengertiannya, apakah frasa “ayahmu dan ibumu” di sini harus dimaknai secara literal saja, atau dapat juga dimaknai secara prinsipil. Dalam pemaknaan literalnya, tentu cakupan perintah ini adalah penghormatan terhadap ayah dan ibu (orangtua kandung). Sedangkan dalam pemaknaan prinsipilnya, penghormatan di sini diperluas juga dengan mencakup figur-figur yang memiliki otoritas, entah itu orangtua, para pemimpin rohani, pemerintah, dan sebagainya. Jelas bahwa pemaknaan secara literal memang sudah harus diasumsikan. Artinya bahwa perintah untuk menghormati orangtua di sini tidak perlu diragukan lagi. Persoalannya adalah atas dasar apakah kita dapat menafsirkan bahwa “ayah dan ibu” di sini bisa juga dimaknai dalam pengertian orang-orang yang menyandang posisi otoritas? Perlu dicatat bahwa Katekismus Singkat Westminster sendiri memaknai perintah kelima dalam pengertian prinsipil ini di mana perintah kelima dianggap menjadi dasar untuk menghormati otoritas dari mereka yang menempati posisi superior.[19] Ryken mengemukakan dua alasan mengapa kita harus mengartikan perintah kelima dalam pemaknaan prinsipil ini, yaitu: (1) alasan hermenutis. Menurut Ryken, untuk menafsirkan Dekalog kita harus mengingat bahwa setiap perintah tersebut memiliki implikasi pada seluruh kategori dari dosa dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Implikasinya, dengan memberikan perintah untuk menghormati orangtua, maka secara otomatis kategori otoritas yang ada pada orangtua melegitimasi perluasan cakupannya dalam hal menghormati orang-orang yang juga memiliki otoritas. Dan (2), Alkitab sendiri menggunakan istilah “ayah” bagi orang-orang yang memiliki otoritas, mis. raja (1Sam. 24:11), juga Elisa memanggil Elia sebagai “ayah” (2Raj. 2:12) bahkan para tua-tua Israel pun disebut sebagai bapa leluhur (Kis. 7:2).[20] Tetapi, keberatan penulis untuk tafsiran yang memperluas maksud perintah menghormati orangtua di sini adalah bahwa Alkitab secara konsisten menggunakan perintah ini secara khusus bagi orangtua yaitu ayah dan ibu. Hal ini terlihat dalam penjelasan mengenai hukuman terhadap anak-anak yang memberontak terhadap orangtua, di mana pemberontakan terhadap ayah dan ibu dianggap sebagai kejahatan tingkat pertama yang harus diganjari dengan hukuman mati. Dan juga dalam pengulangan perintah ini dalam Perjanjian Baru di mana baik Yesus maupun Paulus memaknai perintah ini secara khusus bagi ayah dan ibu (Kel. 21:15, 17; Im. 20:9; dan Ul. 21:18–21; 27:16).

   Jadi ada dua hal yang perlu ditegaskan ulang berkenaan dengan poin di atas, yaitu bahwa (a) penghormatan terhadap orangtua harus dilakukan dalam bobot yang setara bagi ayah dan ibu; dan (b) perintah ini secara khusus berbicara mengenai sikap menghormati orangtua yaitu ayah dan ibu. Pemaknaan bahwa perintah ini mencakup penghormatan terhadap otoritas yang lebih luas tentu memiliki hubungan dengan perintah ini, namun tidak dapat dianggap sebagai maksud kontekstual dari perintah ini. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab IV, namun di sini kita perlu menegaskan prinsip ini dengan menyimak apa dikemukakan Meyers bahwa orangtua adalah pemanggul otoritas yang darinya anak-anak belajar untuk menghormati otoritas Tuhan.[21] Dalam konteks kovenan (perjanjian),[22] perintah ini sendiri memberikan signifikansi yang penting. Komentar berikut ini menegaskan gagasan tersebut: “Penghormatan diberikan kepada orangtua sebagai wakil-wakil otoritas Allah demi kepentingan pemeliharaan kovenan. Jika orangtua tidak diperhatikan atau otoritas mereka diabaikan, maka itu berarti menempatkan kovenan di dalam bahaya.”[23]
Dan ketiga, pemaknaan terhadap janji: “supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu”. Menurut Enns, janji ini tidak bersifat individual, misalnya, jika seoarng anak tidak menghormati orangtuanya, maka ia akan mati pada usia muda. Ingat bahwa Dekalog diberikan dalam konteks perjalanan Israel menuju Kananaan, tanah perjanjian itu. Itulah sebabnya, bagi Enns, janji ini berkaitan dengan janji kovenan mengenai kepemilikan tanah (Kanaan) di mana hal penting yang ikut menentukan jangka waktu kepemilikan tanah tersebut adalah pemenuhan terhadap perintah menghormati orangtua. Enns menulis: “Janji ini bukan merupakan berkat personal, melainkan sebuah berkat bagi umat untuk memiliki tanah di bawah pemerintahan Allah dan menjadi terang bagi bangsa-bangsa.”[24] Tafsiran Enns ini tepat karena di bagian awal Dekalog, memang telah terdapat pernyataan kovenantal bahwa Israel adalah milik Tuhan dan bahwa Tuhan adalah sesembahan mereka satu-satunya (bnd. Ul. 6:4-9). Itulah sebabnya, Walton, Matthews dan Chavalas menyatakan: “… perintah ini mendatangkan berkat kovenan: umur panjang di tanah perjanjian.”[25] Tidak heran, ketika Israel hendak memasuki tanah perjanjian, yaitu Kanaan, Dekalog kembali dikemukan untuk mengingatkan Israel bahwa keberadaan mereka di tanah Kanaan sangat ditentukan oleh ketaatan mereka terhadap hukum-hukum kovenan. Jika mereka menaatinya, mereka akan diberkati; jika mereka melanggar hukum-hukum kovenan maka mereka akan dikutuk (lih. Ul. 5:16; dan ps. 28).[26]
Selanjutnya, karena Ulangan 5:16 merupakan pengulangan dari Keluaran 20:12, maka penulis akan langsung membahas pencantuman ulang perintah ini dalam Imamat 19:3. Ulangan 19 juga merupakan pengulangan terhadap Dekalog walau dengan susunan yang agak sporadis, tidak seperti susunan yang terdapat dalam Keluaran 20:1-17 dan Ulangan 5:6-21.[27] Dalam konteks kitab Imamat, Hartley berkomentar bahwa sasaran pengaplikasian dari perintah menghormati orangtua di sini diarahkan kepada pemeliharaan terhadap mereka di masa tua.[28] Lebih spesifik, Jacob Milgrom menyatakan bahwa Imamat 19 mengandung 16 perintah yang dikaitkan secara khusus dengan panggilan untuk menjaga kekudusan hidup. Artinya, menghormati orangtua di sini merupakan bagian memelihara kekudusan di hadapan Tuhan.[29] Milgrom menjelaskan bahwa dalam kitab Imamat, konsep kekudusan hidup umat Tuhan dianggap sebagai perluasan dari natur Allah yang kudus. Maka, menghormati orangtua di sini berarti merefleksikan natur kekudusan Tuhan sekaligus memperlihatkan penghormatan terhadap status sebagai umat Tuhan yang harus hidup kudus di hadapan-Nya.[30]
Akhirnya perlu dikemukakan mengenai konteks penulisan Kitab-kitab Pentateukh. Kitab-kitab Pentateukh tampaknya ditulis pada masa pembuangan, yakni ketika Israel berada dalam pembungan ke Babel. Artinya, penulisan perintah ini memberikan signifikansi untuk mengajak Israel merefleksikan kembali mengapa mereka dihukum Tuhan dengan membawa mereka ke dalam pembuangan dan meninggalkan tanah perjanjian. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah melanggar hukum perjanjian ini. Itulah sebabnya, Durham benar ketika berkomentar bahwa hukum kelima, dalam kaitan dengan konteks historisnya, mesti dibaca dalam kaitan dengan Keluaran 21:15, 17; Imamat 20:9; dan Ulangan 21:18–21; 27:16 (teks-teks ini akan dibahas dalam poin berikutnya).[31]

C.    Hukum Kelima dan Pendidikan Kristiani dalam Keluarga

Kita harus mengingat bahwa Dekalog diawali dengan deklarasi teologis: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2). Deklarasi teologis ini menegaskan tentang sumber dari Dekalog itu sendiri yaitu Tuhan dan karya penebusan Tuhan bagi Israel. Deklarasi pendahuluan ini menyingkapkan tentang keagungan Allah sendiri. Bruce K. Waltke dan Charles Yu menyatakan bahwa dalam kontkes perjanjian pada masa itu, biasanya pernyataan pendahuluan dalam teks-teks perjanjian digunakan untuk menkitai keagungan dari sang inisiator perjanjian.[32] Artinya, jika Dekalog itu berasal atau bersumber dari Tuhan, maka tempat terbaik untuk mulai memahami Dekalog tersebut adalah Tuhan sendiri. Dengan kata lain, Dekalog menyingkapkan tentang karakter atau natur dari Tuhan yang menyingkapkan diri-Nya dalam Alkitab.
Artinya, Dekalog yang tercatat dalam Alkitab bukan sekadar hukum Musa, melainkan hukum Allah sendiri. Allah menyingkapkan kehendak-Nya melalui pewahyuan yang tampak dengan kemuliaan yang luar biasa. Yesaya menulis, “TUHAN telah berkenan demi penyelamatan-Nya untuk memberi pengajaran-Nya yang besar dan mulia” (42:21).
Fakta bahwa Dekalog merefleksikan natur diri dan karya Allah sendiri berimplikasi pada aspek lain. Aspek yang dimaksud adalah bahwa ketidaktaatan terhadap Dekalog merupakan ketidaktaatan terhadap Allah sendiri dan merupakan suatu pemberontakan yang langsung tertuju pada Allah sendiri. Setiap pelanggaran terhadap Dekalog merupakan sebuah perlawanan terhadap natur Allah yang kudus dan berdaulat. Menurut Ryken, mungkin inilah sebabnya mengapa Dekalog ditulis dengan jari Allah sendiri sebagaimana yang tercatat dalam Keluaran 31:18; dan 32:16.[33]
Dalam hubungan dengan perintah kelima yaitu perintah untuk menghormati orangtua, kita diingatkan bahwa Allah bukan hanya menghendaki suatu relasi vertikal antara umat dengan diri-Nya (hukum pertama – hukum keempat), melainkan juga menghendaki suatu relasi horisontal antara sesama. Yohanes Calvin menyatakan, “Dekalog berguna untuk kebaikan bersama dan menegakkan penghormatan akan Allah dan juga keteraturan sosial.”[34] Dan relasi horisontal ini diawali dengan relasi antara anak dan orangtuanya. Melalui perintah untuk menghormati orangtua, kita belajar untuk menghormati otoritas. Dan dengan belajar menghormati otoritas orangtua, kita mendapati suatu cerminan mengenai otoritas Allah. Di dalam otoritas orangtua, terdapat otoritas Allah karena otoritas orangtua didapatkan dari Allah sendiri yang telah memberikan perintah tersebut. Orangtua adalah wakil Allah di dunia yang mengajar kita tentang moralitas dan iman kepada Tuhan. Sebagai wakil Allah oratua bertindak atas nama Allah dalam membesarkan, mendidik dan mengajar anak-anaknya. Melalui menghormati orangtua, kita secara tidak langsung menghormati otoritas Tuhan. Karena penghormatan itu dilakukan atas dasar perintah yang berasal dari Tuhan sendiri.[35]
Dalam teologi PL, pelanggaran terhadap Taurat memiliki dampak pada kelangsungan kovenan antara Allah dan Israel. Berkat dan kutuk terhadap Israel ditentukan oleh ketaatan mereka terhadap Taurat. Itulah sebabnya, dalam rangka menjaga sterilitas komunitas umat Allah dalam PL, setiap pelanggaran terhadap perintah kelima dianggap sebagai pemberontakan terhadap kovenan antara Allah dan Israel, maka orang yang bersangkutan harus dihukum mati.[36]
Menurut t.seb. 3:6, ketidakhormatan terhadap orangtua sebenarnya didahului oleh ketidakhormatan terhadap Tuhan. Bahkan menurut t. Arakin, kata-kata lebih penting dari tindakan, maka anak-anak yang mengutuki orangtuanya harus dihukum mati sebagaimana jika mereka memukuli orangtua mereka (bnd. b.Sanh. 85b; m.Sanh. 7:4). Itulah sebabnya, para Rabbi terlibat dalam perdebatan mengenai bentuk persis dari pengutukan terhadap orangtua. Bagi beberapa Rabbi, pengutukan itu terjadi ketika nama Tuhan digunakan; sedangkan bagi sebagian lagi pengutukan itu sudah terjadi bahkan ketika seseorang menggunakan ungkapan pelembut (y.Sanh. 7:11; m.Sanh. 7.8; Tg. Ps.-J. Exod. 21:17; b. Sebu. 35a). Juga mereka berdebat apakah hukuman mati itu dilakukan jika pengutukan ditujukan kepada ayah dan ibu sekaligus atau hanya salah satunya saja (b.Hul. 78b; ib.Sebu. 27a-b; b.Sanh. 66a; b.B.Mesia 94b-95a). Selanjutnya, menurut Genesis Rabah 36:6, tindakan Ham yang tidak menghormati Nuh menyebabkan pembuangan orang-orang Mesir dan Ethiopia ke Asyur (mengutip Yes. 20:4). Dan kegagalan Israel dalam menghormati orangtua mereka merupakan alasan utama di balik ratapan Yeremia mengenai malapetaka (Pesiq. Rab Kah. 13:8). Dalam Seder Eliyahu Rabbah, dikatakan bahwa ketetapan penghakiman yang pasti akan menimpa anak-anak yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan orangtua mereka. Mereka bahkan bila perlu mengemis untuk menafkahi orangtua mereka (26:24 – 27:5).[37]
Penekanan ini terlihat juga dengan jelas dalam perjanjian baru, Misalnya dalam komentarnya terhadap Matius 5:1-9, Matthew Henry menyatakan:
  
   Ia yang mengutuki ayahnya atau ibunya, ia pasti mati: ini hukum yang kita punyai,             Kel 21:17. Dosa mengutuki orang tua di sini dikontraskan dengan kewajiban untuk     menghormati mereka. Mereka yang berbicara buruk tentang orang tua mereka, atau            mengharapkan  yang buruk tentang mereka, yang mengejek mereka, atau memberi           mereka kata-kata yang mencela atau mengejek dan menghina, melanggar hukum ini.    Jika menyebut seorang saudara raca bisa dihukum, maka bagaimana dengan    menyebut ayahnya demikian?[38]
           
            Demikian pula Yohanes Calvin mengingatkan mengenai pentingya perintah ini ditaati bagi anak-anak terhadap orangtuanya:
           
            Sementara Tuhan menjanjikan berkat dari kehidupan ini kepada anak-anak yang     menghormati orang tua mereka dengan seharusnya, pada saat yang sama Ia menunjukkan secara tidak langsung bahwa suatu kutuk yang tidak terhindarkan       mengancam semua anak-anak yang keras kepala dan tidak taat. Untuk menjamin    bahwa perintah atau hukum ini dilaksanakan, melalui hukum ini Ia telah menyatakan         mereka sebagai sasaran dari hukuman mati, dan memerintahkan supaya mereka   menjalani hukuman. Jika mereka lolos dari penghakiman itu, Ia sendiri akan     membalas mereka dengan satu dan lain cara. ... Sebagian orang bisa lolos dari         hukuman sampai usia yang sangat tua. Tetapi dalam hidup ini mereka kehilangan       berkat Allah, dan hanya bisa merana secara menyedihkan, disimpan untuk            penghukuman yang lebih besar yang akan datang.[39]

Perintah untuk menaati orang tua adalah perintah yang teramat sangat penting dalam sebuah keluarga Kristen, bahkan seperti yang sudah dijelaskan bahwa perintah ini tidak hanya mencakup kepada kelangsungan sebuah keluarga saja tetapi juga kepada kelangsungan hidup suatu bangsa.
Jika demikian maka sudah sepatutnya sebuah pendidikan di dalam keluarga harus menekankan kepada penghormatan kepada orang tua. Karena tanpa penghormatan kepada orang tua maka itu akan mengakibatkan penghukuman Tuhan yang akan sangat besar, dan juga penghormatan kepada orang tua akan membawa berkat yang juga besar.
Tetapi hal ini tidak serta merta membuat setiap anak harus mentaati orang tuanya secara membabi buta, karena pada faktanya ada kasus di mana sebagaimana ada anak-anak yang memberontak terhadap orangtuanya, demikian pula dalam kenyataan kita sering berhadapan dengan orangtua-orangtua yang tidak berlaku atau bersikap sebagaimana seharusnya. Mereka bahkan memperlihatkan sikap yang tidak layak dihormati sama sekali. Misalnya mereka melakukan kejahatan, memukuli anak-anaknya secara berlebihan, dan lain sebagainya. Intinya, mereka tidak menjadi teladan bagi anak-anak mereka. di sini menimbulkan pertanyaannya, apakah orangtua-orangtua seperti tetap harus dihormati oleh anak-anak-Nya?
Di sini, kita harus membedakan antara menghormati dan tindakan spesifik sebagai bagian dari menghormati yaitu menuruti atau menaati. Mengenai menghormati, jelas ini merupakan sesuatu yang mutlak dalam segala kondisi, tidak peduli apa dan bagaimana pun orantua kita bersikap atau bertingkah laku. Kita harus tetap memperlakukan mereka sebagai orangtua dan memperlihatkan sikap serta tutur kata yang hormat terhadap mereka. Namun, untuk menaati apa pun yang mereka katakana atau perintahkan, anak-anak diharuskan untuk mempertimbangkannya dalam konteks otoritas atau kehendak Allah secara keseluruhan sebagai penentu mutlaknya.[40]
Sedangkan bagi orangtua yang belum percaya, anak-anak harus tetap memperlihatkan sikap hormat terhadap mereka. Anak-anak harus memperlihatkan sikap yang patut dan terpuji terhadap mereka. Namun, tatkala orangtua menuntut anak-anak untuk terlibat dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, misalnya terlibat dalam ritual-ritual yang jelas berkaitan dengan penyembahan berhala, anak-anak harus dengan tegas menyatakan bahwa mereka lebih memilih taat kepada Allah ketimbang taat kepada adat istiadat nenek moyang yang ada.[41]

D.    Kesimpulan

            Tulisan ini dimulai dengan penekanan kepada betapa pentingnya pendidikan Agama Kristen  di dalam keluarga yang akan membentuk seperti apa kepribadian seseorang dan juga kepribadian dan kemajuan suatu bangsa. Gereja dan orang tua harus terus memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan di dalam keluarga ini agar tercipta generasi-genarsi bangsa dan Gereja yang bermoral dan memiliki iman yang teguh.
            Pentingnya peranan pendidikan Kristen di dalam keluarga ini terlihat dalam komentar T.S. Eliot menyatakan bahwa tujuan pendidikan Kristen bukan sekadar membuat seseorang menjadi seorang Kristen yang saleh. Pendidikan Kristen haruslah terutama mengajar para nara didiknya (baca:anak) untuk mampu memiliki wawasan dunia Kristen.[42] Senada dengan Eliot, Dockery menyatakan juga bahwa pendidikan Kristen “lebih dari sekadar integrasi antara iman dan pembelajaran, ia melibatkan juga integrasi antara iman dan kehidupan.”[43] Pengajaran-pengajaran yang berlandaskan iman Kristen ditransfer dan diintegrasikan kepada anak-anak, sehingga mereka dipersiapkan untuk menjalani kehidupan yang memuliakan Tuhan. Dengan demikian, kehidupan mereka menjadi manifestasi dari pemerintahan Allah.[44]
            Dengan menyadari betapa penting dan strategisnya pendidikan Kristen ini, maka pendidikan Kristen harus menjadi pendidikan yang memiliki dampak secara global, dan itu harus dimulai dari sebuah unit terkecil di dalam Gereja, Masyrakat dan Bangsa yaitu keluarga.
            Dan berdasarkan kepada penguraain penulis di atas, maka salah satu penekanan penting dari pendidikan di dalam keluarga adalah penekanan kepada hukum kelima dari sepuluh hukum yaitu perintah untuk menghormati orang tua karena orang tua adalah wakil Tuhan yang diberikan otoritas langsung dari Tuhan. Penolakan dan ketidaktaatan kepada hukum ini bukan hanya mengakibatkan penghukuman kepada yang bersangkutan tetapi juga kepada komunitas yang lebih besar yaitu bangsa dan Gereja.
            Dengan menyadari bahwa setiap elemen terutama keluarga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan dan penanaman karakter melalui pendidikan nilai dan pendidikan agama, maka sudah sepatutnya Gereja perlu menanamkan pendidikan Kristiani di dalam keluarga melalui penekanan terhadap penghormatan kepada orang tua.



*Penulis adalah Alumni STT SETIA Jakarta dan saat ini sebagai Dosen Pada STAKN Toraja
[1] Walter H. Norvell, “The Great Commission Imperative of Teaching: Why Christian Education Should Be On the Cutting Edge of the Church’s Mission Today,” in Journal for Baptist Theology and Ministry, Vol. I, No. 2 (2003): 94.
[2] Jack D. Terry, Jr., “God as Teacher,” in The Teaching Ministry of the Church, ed. Daryl Eldridge (Nashville: Broadman & Holman, 1995), 6.
[3] Norman E. Harper, Making Disciples, (Memphis, Tennessee: Christian Studies Center, 1981), pp.95-97
                [4] Ihat Hatimah, dkk., Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas terbuka, 2007), hlm 17
                [5] Andreas Chistanday, Membangun Keluarga yang tak Terguncangkan, (Jakarta: Gloria Grafia, 2010), hlm. 37
[6] Mengenai sebutan teknis lainnya, lih. Carol Meyers, Exodus (The New Cambridge Bible Commentary; Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 163.
[7] Salah satu isu kritis lain yang menimbulkan diskusi hangat di kalangan para penafsir adalah mengenai tempat atau posisi dari Dekalog dalam kitab Keluaran. Kapankah “Allah mengucapkan segala firman ini” dalam Keluaran 20:1? Menurut Keluaran 19, hal itu harusnya terjadi sebelum Musa turun dari atas gunung Sinai. Artinya, Keluaran 20:1 seharusnya, secara kronologis, terjadi sebelum Keluaran 19:25. Pertanyaannya, mengapa justru Keluaran 20:1-17 dipisahkan bahkan ditempatkan sesudah urutan kronologis yang sebenarnya? Mengenai isu ini, penulis sependapat dengan penafsir yang menyatakan bahwa Keluaran 20:1-17 dipisahkan dari urutan kronologis yang sebenarnya untuk diberikan penekanan khusus oleh penulis kitab ini, lih. Peter Enns, Exodus (The NIV Application Commentary; Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2000), 411-412. Isu lainnya yang didiskusikan berkenaan dengan Dekalog adalah natur literernya, yang dapat dibaca dalam: Tremper Longman III and Raymon B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (2nd edition; Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2006), 75-76.
[8] Lih. pembahasannya dalam: Philip Graham Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis (Wheaton, Illinois: Crossway Books, 2003), 118.
[9] Meyers mengusulkan pembagian yang sedikit berbeda. Menurutnya, hukum pertama – hukum kelima membentuk kelompok tersendiri berdasarkan terkandungnya penyebutan nama TUHAN di dalamnya, sedangkan hukum keenam – hukum kesepuluh disendirikan karena di dalamnya tidak terkandung penyebutan nama TUHAN. Meyers kemudian memberikan tafsiran menarik bahwa hukum kelima dapat dimasukkan ke dalam perintah-perintah berkait sikap terhadap Tuhan sekaligus sikap terhadap manusia karena orang hanya dapat belajar tentang menghormati otoritas Tuhan bila ia belajar menghormati otoritas orangtuanya. Lih. Exodus, 164. Pembagian yang umumnya beredar di kalangan orang-orang Kristen adalah bahwa hukum-hukum ini dapat dibagi menjadi dua di mana hukum pertama – hukum keempat berbicara mengenai tanggung jawab terhadap Tuhan, sedangkan hukum kelima – hukum kesepuluh berbicara mengenai tanggung jawab terhadap sesama, lih. Terence Fretheim, Exodus (Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching; Louisville, Kentucky: John Knox, 1991), 231.
[10] Hagith Sivan, Between Woman, Man, and God: A New Interpretation of the Ten Commandments (New York: T.&T. Clark International, 2004), 108.
[11] Bruce K. Waltke and Charles Yu, An Old Testament Theology: An Exegetical, Canonical, and Thematic Approach (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2007), 425.
[12] Lih. “dbeK',” in BDB Lexicon [Software version of BibleWorks6].
[13] Waltke and Yu, An Old Testament Theology: An Exegetical, Canonical, and Thematic Approach, 425.
[14] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis, 119.
[15] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis, 119; bnd. Sivan, Between Woman, Man, and God: A New Interpretation of the Ten Commandments, 109.
[16] J.I. Packer, Keeping the 10 Commandments (Wheaton, Illinois: Crossway Books, 2007), 74.
[17] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis, 120.
[18] John I. Durham, Exodus, (Software version of Word Biblical Commentary, Vol. 3; Dallas, Texas: Word Books Publisher, 1998); juga Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis, 120-121.
[19] Dikutip dalam: Philip Graham Ryken, Exodus: Saved for God’s Glory (Wheaton, Illinois: Crossway Books, 2005), 606.
[20] Ryken, Exodus: Saved for God’s Glory, 606-608.
[21] Meyers, Exodus, 164.
[22] Dekalog merupakan bagian dari aturan-aturan kovenan yang mengatur hubngan antara Allah dan umat-Nya. Perintah-perintah ini diberikan bukan supaya Israel menjadi umat Allah, melainkan sebaliknya diberikan agar Israel yang sudah menjadi umat Allah berperilaku sesuai statusnya. Lih. Wolfgang Wegert, The Law of Freedom: An Interpretation fo the Ten Commandments (Hamburg: Ache-Medien Hamburg, 2005), 38-46.
[23] John H. Walton, Victor H. Matthews, and Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Software version; Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2000).
[24] Enns, Exodus, 421.
[25]Walton, Matthews, and Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament [Software version].
[26] Nama kitab Ulangan, Deuteronomy, secara literal berarti “hukum kedua” dalam pengertian “pengulangan” dari hukum yang pertama. Lebih tepat, kitab ini mengandung versi kedua atau versi pengulangan dengan sejumlah variasi yang dikemukakan beberapa saat sebelum Israel memasuki Kanaan yang juga sekaligus menandai berakhirnya masa kepemimpinan Musa dan dialihkan kepada kepemimpinan Yosua. Kitab ini juga menempati posisi sentral dalam teologi Perjanjian Lama, di mana sejarah Israel selanjutnya disebut Sejarah Deoteronomistik, yakni bahwa perilaku serta nasib Israel ditentukan berdasarkan ketetapan mengenai berkat dan kutuk kovenan yang dikumandangkan kembali di dalam kitab ini. Lih. Longman and Dillard, An Introduction to the Old Testament, 102, 104-109.
[27] Lih. susunan paralel antara Dekalog dalam Keluaran, Ulangan, dan Imama 19 yang dikemukakan dalam: John E. Hartley, Leviticus, (Software version of Word Biblical Commentary, Vol. 4; Dallas, Texas: Word Books Publisher, 1998).
[28] Hartley, Leviticus [Software version].
[29] Lih. Jacob Milgrom, “The Changing Concept of Holiness in the Pentatheucal Codes with Emphasis on Leviticus 19,” in John F.A. Sawyer (ed), Reading Leviticus: A Conversation with Mary Douglas (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1996), 72.
[30] Milgrom, “The Changing Concept of Holiness in the Pentatheucal Codes with Emphasis on Leviticus 19,” 65-66.
[31] Durham, Exodus [Software version].
[32] Bruce K. Waltke and Charles Yu, An Old Testament Theology: An Exegetical, Canonical, and Thematic Approach (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2007), 409.
[33] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis, 17.
[34] Dikutip dalam: David Weiss Halivni, Midrash, Misnah, and Gemara: The Jewish Predilection for Justified Law (Cambridge: Harvard University Press, 1986), 7.
[35] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis, 15.
[36] Lih. eksegesis penulis dalam Bab III.
[37] Rikk E. Watts, “Mark,” in Commentary on the New Testament Use of the Old Testament, 169.
[38] Matthew Henry, Matthew Henry’s Commentary [Software version of BibleWorks6]. Sebagai catatan, kata raca yang dihurufmiringkan di atas diambil dari Matius 5:22 yang dalam LAI-ITB diterjemahkan dengan kata “kafir”.
[39] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill, trans. Ford Lewis Battles, 2 Vols, Library of Christian Classics 20-21 (Philadelphia: Westminster, 1960), II. VIII. 38.
[40] Bnd. Wegert, The Law of Freedom: An Interpretation of the Ten Commandments, 96-97. bnd Kisah dalam 1 Samuel 14 kisah mengenai Saul, Daud dan Yonatan, di mana Yonatan memilih untuk tidak menaati orang tuanya karena orang tua telah melanggar perintah Allah.
[41] Di Indonesia terdapat sejumlah ritual yang dianggap mencerminkan prinsip menghormati orangtua. Misalnya di Kalimantan Tengah, ada ritual penghormatan orangtua yang sudah meninggal yang dikenal dengan sebutan Mahamba Olo Bakas. Ritual ini sarat unsur penyembahan berhala, namun anak-anak yang masih hidup tidak dapat menolak untuk tidak terlibat di dalamnya, entah yang sudah Kristen maupun yang belum Kristen.
[42] T.S. Eliot, Christianity and Culture (New York: Horcourt Brace, 1940), 22.
[43] Dockery, “The Great Commandment: A Paradigm for Christian Higher Education,” 55.
[44] Roland G. Kuhl, “The Reign of God: Implications for Christian Education,” in Christian Education Journal 1 (1997): 83.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dekalog Ke-5"

Post a Comment