Dekalog Ke-5
Penerapan Hukum Kelima &
Pendidikan Kristiani Dalam Keluarga
James A. Lola, M.Th*
Abstract
Keluarga adalah tempat pertama dan
utama serta tempat yang paling strategis bagi seorang anak untuk bertumbuh dan
berkembang menjadi seorang pribadi yang utuh, karena di dalam keluargalah
seorang anak dapat belajar banyak hal tentang moral, kehidupan dan iman. Dalam
hal ini peran daripada orang tua sangatlah signifikan dalam membentuk
kepribadian seorang anak, bahkan diharapkan bahwa kehidupan yang harmonis dari orang
tua dapat membantu seorang anak untuk mengembangkan diri di lingkungan dan di
masyrakat serta bangsa dan negara. Oleh karena itu, maka dalam keluarga seorang anak harus diajarkan mengenai
bagaimana mentaati orang tua karena perintah untuk menaati orang tua adalah perintah yang
teramat sangat penting dalam sebuah keluarga Kristen, karena implikasi dari perintah
ini tidak hanya mencakup kepada kelangsungan sebuah keluarga saja tetapi juga
kepada kelangsungan hidup suatu bangsa.
A.
Pendahuluan
Walter H. Norvell menulis, “Kekristenan
merupakan agama pengajaran” [Christianity
is a teaching religion].[1] Klaim
ini tepat karena kekristenan berakar dalam Wahyu Allah. Allah mewahyukan
diri-Nya melalui Wahyu Umum dan Wahyu Khusus agar mengajar dan memperkenalkan Diri
dan kehendak-Nya bagi manusia. Penulis Kitab Ibrani menyatakan
bahwa dari jaman ke jaman Allah berbicara melalui pribadi dan sarana yang
berbeda dan pada puncaknya melalui Anak-Nya, Yesus Kristus (Ibr. 1:1-2). Allah
adalah Pengajar yang Agung.[2]
Jika demikian, maka pendidikan
Kristen merupakan bagian dari pelayanan gereja
yang sangat penting. Hal ini terlihat di mana
Tuhan sendiri di dalam Alkitab
menekankan pentingnya pendidikan Kristen bagi umat-Nya. Di dalam Alkitab
Perjanjian Lama, Tuhan memerintahkan Harun untuk mengajarkan ―kepada anak-anak
orang Israel segala ketetapan yang telah
difirmankan Tuhan kepada mereka dengan
perantaraan Musa‖ (Imamat 11:10). Tugas ini juga diturunkan kepada para imam yang melayani di Israel
(Ulangan 24:8; 31:9; 33:8)
Di
dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri menekankan pentingnya pendidikan
Kristen, sehingga di dalam amanat agung-Nya, Ia berkata: Karena itu
pergilah....jadikan semua bangsa murid-Ku....baptislah....dan ajarlah
mereka.....(Matius 28:19,20). Tuhan Yesus memberikan tugas kepada
murid-murid-Nya yang adalah cikal bakal pemimpin gereja untuk memberikan
pengajaran yang benar dan serius kepada mereka yang akan dilayani. Oleh sebab
itu, pendidikan Kristen merupakan bagian dari perintah Tuhan yang harus dilaksanakan
oleh gereja.
Rasul
Paulus juga menekankan pentingnya
pendidikan Kristen bagi jemaat (Efesus 4:11-12; I Timotius 3:2). Dengan kata
lain, pendidikan Kristen merupakan salah satu
pelayanan yang tidak boleh diabaikan oleh gereja. Gereja tanpa pendidikan Kristen bukanlah gereja yang
sehat.[3]
Dalam era yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi ini, Gereja dituntut untuk lebih lagi menekankan pengajaran iman
yang dapat menjawab tantangan zaman ini, dan salah satunya adalah dengan memberikan
perhatian yang lebih besar kepada pendidikan di dalam keluarga.
Hal ini didasari kepada fakta bahwa sebuah bangsa yang
kuat (baca:bermoral) dimulai dari masyarakat yang juga kuat dan masyarakat yang
kuat di mulai dari keluarga yang kuat juga. Dengan kata lain pembentukan sebuah
bangsa di mulai dari keluarga.
Keluarga
adalah lembaga pendidikan pertama dan utama,dalam membentuk jati diri para
generasi muda, Anak sebagai generasi penerus harus memiliki jati diri
masyarakat dan bangsanya.Perwarisan nilai-nilai budaya sangat mungkin dilakukan
di keluarga. Pendidikan dalam keluarga yang tepat
dan benar,merupakan modal dasar bagi perkembangan suatu bangsa.
Keluarga
adalah lembaga pendidikan pertama yang membentuk alam spiritual dan moral
seseorang dan bangsa; lembaga pendidikan yang memberikan makna martabat
manusia, kepribadian individu dan kehidupan demokrasi., membentuk standar
individu dan integritas kelompok.
Tanpa
keluarga yang sehat dan harmonis, akan terjadi apa
yang disebut dengan degradasi moral dalam perilaku hidup kebangsaan. Hilangnya kejujuran, kebenaran, keadilan dan keberanian,
dan digantikan oleh penyelewengan-penyelewengan, baik yang terlihat ringan
maupun berat; banyak terjadi adu domba, hasud dan fitnah, menjilat, menipu,
berdusta, mengambil hak orang lain sesuka hati, di samping juga
perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.[4]
Keluarga adalah tempat yang aman dan
menyenangkan apabila dalam keluarga terdapat kebahagiaan, sukacita, saling
memiliki dan saling melengkapi. Andreas Christanday mengatakan, “Rumah tangga
yang saling mengasihi dan saling memiliki adalah keluarga sebagai tempat yang
paling aman dan nyaman untuk berlindung.”[5]
Salah satu prinsip utama dalam pendidikan di dalam
keluarga adalah apa yang tertuang di dalam hukum kelima dari sepuluh hukum
(dekalog) yaitu perintah untuk menghormati orang tua Keluaran 20:12 "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya
lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu."
Perintah ini, pada
masa kini, seperti telah dilupakan oleh sebagian banyak keluarga dan bahkan
Gereja, hal ini terlihat dari fakta yang terjadi hampir di setiap keluarga di
mana penghargaan dan penghormatan terhadap orang tua hampir-hampir tidak
terlihat lagi, oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mengkaji secara
mendalam apa maksud dari perintah ini
dalam perspketif eksegese dan relevansinya bagi pendidikan Kristiani dalam keluarga
B. Hukum Kelima: Menghormati Orangtua (Kel. 20:12; Ul.
5:16; Imamat. 19:3)
Dalam bagian ini
penulis akan mengeksegesis beberapa teks PL berkaitan dengan perintah untuk menghormati orangtua dalam
Dekalog (Dasa Titah; 10 Hukum) yaitu Keluaran
20:12; Ulangan 5:16 dan Imamat 19:3.
Ada beberapa isu
kritis yang didiskusikan di kalangan para penafsir berkenaan dengan Dekalog
(berasal dari gabungan dua kata Yunani: deka
– sepuluh; dan logos – kata, atau
pernyataan dan kadang-kadang digunakan dalam arti hukum).[6]
dalam Keluaran 20:1-17,[7]
namun sebagai pengantar untuk membahas perintah kelima, penulis hanya akan
membahas salah satunya. Dalam Keluaran 31:18, dikatakan bahwa Tuhan memberikan
dua loh batu kepada Musa yang berisi Dekalog. Lontaran ini menimbulkan dua
kemungkinan pengertian. Pertama,
lontaran ini berarti Dekalog diberikan dengan disertai salinannya – artinya,
Dekalog ditulis secara utuh dalam sebuah loh batu kemudian loh batu yang
satunya lagi merupakan salinannya. Tafsiran ini mengambil dukungan dari
kebiasaan para raja Timur Dekat Kuno (Ancient
Near Eastern) yang biasanya membuat salinan dari hukum-hukum yang mereka
tulis. Dan kedua, kedua loh batu itu
masing-masing berisi perintah-perintah yang terkelompok menjadi dua bagian –
tafsiran ini membuat sejumlah penafsir menyatakan bahwa loh batu yang pertama
berisi perintah-perintah yang berkait dengan tanggung jawab terhadap Tuhan
(hukum ke-1 hingga hukum ke-4) dan loh batu yang kedua berisi perintah-perintah
yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap sesama. Kadang-kadang, mereka
yang menerima tafsiran yang kedua mengambil dukungan dari kata-kata Yesus
Matius 22:37-40, lalu menyatakan bahwa loh batu yang pertama berisi
perintah-perintah untuk mengasihi Allah, dan loh batu yang kedua berisi
perintah-perintah untuk mengasihi manusia.[8]
Entah dalam pengertian tafsiran yang pertama atau yang kedua, yang jelas hukum
kelima: “Hormatilah Ayahmu dan ibumu” memang mengawali perintah-perintah yang
berkenaan dengan sikap terhadap sesama.[9]
Perlu
dicatat juga bahwa perintah ini juga
memiliki kaitan latar belakang dengan Kejadian 2:24 yang berbicara mengenai
pembentukkan keluarga oleh Tuhan sendiri yang dimulai dengan pernikahan. Fokus dari bagian ini adalah
unsur kolektivitas dari keluarga yang terdiri dari
suami, isteri dan keluarga dari kedua belah pihak. Meski demikian, seperti yang
dijelaskan oleh Hagith Sivan, Keluaran 20:12 merupakan bentuk sempitnya di mana
unsur-unsur yang terdapat di dalamnya adalah: ayah-ibu-anak.[10]
Salah satu hal yang menarik untuk diperhatikan dari perintah kelima ini adalah bahwa perintah lebih bersifat suruhan, dan juga
perintah yang mengandung janji berbeda dari empat perintah pertama yang lebih bersifat larangan (bnd. Kel. 21:15; Im. 20:9; Ul.
21:18-19).[11] Pada poin
ini penulis akan memperhatikan tiga pokok utama berkenaan dengan perintah
menghormati orangtua dalam Keluaran 20:12.
Pertama, apakah yang dimaksud dengan
“hormatilah”? Kata Ibrani yang digunakan untuk kata
'hormatilah'
adalah kata dbeK'((((( (khabed) yang ada dalam bentuk piel (perintah). Kata ini secara
mendasar memiliki beberapa arti, yaitu: “memiliki bobot, memiliki
berat yang membebani, dan menghormati”.[12]
Bruce K. Waltke dan Charles Yu menjelaskan bahwa arti-arti leksikal seperti
“memiliki bobot, memiliki berat yang membebani” secara idiomatik digunakan
untuk menandai sikap menganggap seseorang memiliki bobot atau kualitas yang
patut dihormati. Kata ini sering digunakan dalam konteks penyembahan (worship), misalnya dalam Mazmur 86:9 dan
sangat mungkin paralel dengan kata War"yTi (tira’u. Im. 19:3) yang berarti
“takut [dalam pengertian menghormati/menyegani]”. Istilah ini biasanya
digunakan juga untuk sikap takut [dalam pengertian menghormati] Tuhan.[13]
Demikian pula mengenai kata “menghormati” di sini, Ryken menyatakan: “Ini
adalah kata yang secara literal digunakan untuk sesuatu yang memiliki bobot
atau berat. Kata ini digunakan dalam Perjanjian Lama untuk kemuliaan Allah,
untuk keberbobotan dari kemuliaan ilahi-Nya.”[14] Mengenai makna
“menghormati” orang tua, Ryken menulis:
Menghormati orangtua seseorang, karena itu, berarti memberikan bobot yang
seharusnya bagi posisi mereka. Itu berarti menganggap bahwa mereka layak untuk
mendapat penghormatan karena otoritas terberi yang mereka miliki dari Tuhan.
Menghormati berarti menghargai, mentakzim, menganggap bernilai, dan memandang
ayah serta ibu sebagai pemberian dari Allah.[15]
Dengan penekanan yang lebih aplikatif, J.I. Packer mengartikan
“menghormati” orangtua di sini dalam arti “menghargai mereka dalam perkataan,
memperhatikan kepentingan mereka, menjaga relasi dengan mereka, sebagaimana
halnya kita menghargai para imam dan para pejabat pemerintah terlepas dari apa
pun yang kita pikirkan mengenai keterbatasan pribadi atau kehidupan privat
mereka.”[16]
Kedua, frasa “ayahmu dan ibumu” (^M,ai-ta,w> ^ybia'-ta,) perlu dielaborasi
dalam kaitan dengan konteks dan juga jangkauan pengertiannya.
a.
Dalam kaitan dengan konteks budaya jaman itu, ada satu
penekanan menarik yang perlu diperhatikan. Perintah itu berbunyi “Hormatilah
ayahmu dan ibumu” [huruf miring
sebagai penekanan dari penulis]. Ryken menjelaskan bahwa dalam bagian-bagian
lain, Alkitab memberikan penekanan bahwa seorang ayah memanggul tanggung jawab
unik sebagai pemimpin spiritual dalam keluarga. Meski demikian, perintah ini
dengan jelas menyejajarkan ayah dan ibu untuk menerima bobot penghormatan yang
sama (bnd. Ams. 6:20). Bahkan dalam Imamat 19:3, yang disebutkan lebih dahulu
adalah menghormati “ibu dan ayah”.[17] John
I. Durham menegaskan bahwa penyejajaran antara ayah dan ibu dalam menerima
sikap hormat yang sama dalam perintah ini harus diakui tidak memiliki
paralelnya dalam konteks kebudayaan bangsa-bangsa lain di sekitar Israel pada
waktu itu. Alkitab memang memberikan kesan patriakhal, namun dalam perintah ini
jelas sekali bahwa Tuhan tidak mengistimewakan
ayah ketimbang ibu. Keduanya harus mendapatkan sikap hormat yang sama dari
anak-anaknya.[18]
b.
Dalam kaitan dengan jangkauan pengertiannya, apakah frasa
“ayahmu dan ibumu” di sini harus dimaknai secara literal saja, atau dapat juga
dimaknai secara prinsipil. Dalam pemaknaan literalnya, tentu cakupan perintah
ini adalah penghormatan terhadap ayah dan ibu (orangtua kandung). Sedangkan
dalam pemaknaan prinsipilnya, penghormatan di sini diperluas juga dengan
mencakup figur-figur yang memiliki otoritas, entah itu orangtua, para pemimpin
rohani, pemerintah, dan sebagainya. Jelas bahwa pemaknaan secara literal memang
sudah harus diasumsikan. Artinya bahwa perintah untuk menghormati orangtua di
sini tidak perlu diragukan lagi. Persoalannya adalah atas dasar apakah kita
dapat menafsirkan bahwa “ayah dan ibu” di sini bisa juga dimaknai dalam
pengertian orang-orang yang menyandang posisi otoritas? Perlu dicatat bahwa
Katekismus Singkat Westminster sendiri memaknai perintah kelima dalam
pengertian prinsipil ini di mana perintah kelima dianggap menjadi dasar untuk
menghormati otoritas dari mereka yang menempati posisi superior.[19] Ryken
mengemukakan dua alasan mengapa kita harus mengartikan perintah kelima dalam
pemaknaan prinsipil ini, yaitu: (1) alasan hermenutis. Menurut Ryken, untuk
menafsirkan Dekalog kita harus mengingat bahwa setiap perintah tersebut
memiliki implikasi pada seluruh kategori dari dosa dan kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan. Implikasinya, dengan memberikan perintah untuk menghormati
orangtua, maka secara otomatis kategori otoritas yang ada pada orangtua
melegitimasi perluasan cakupannya dalam hal menghormati orang-orang yang juga
memiliki otoritas. Dan (2), Alkitab sendiri menggunakan istilah “ayah” bagi
orang-orang yang memiliki otoritas, mis. raja (1Sam. 24:11), juga Elisa
memanggil Elia sebagai “ayah” (2Raj. 2:12) bahkan para tua-tua Israel pun
disebut sebagai bapa leluhur (Kis. 7:2).[20]
Tetapi, keberatan penulis untuk tafsiran yang memperluas maksud perintah
menghormati orangtua di sini adalah bahwa Alkitab secara konsisten menggunakan
perintah ini secara khusus bagi orangtua yaitu ayah dan ibu. Hal ini terlihat
dalam penjelasan mengenai hukuman terhadap anak-anak yang memberontak terhadap
orangtua, di mana pemberontakan terhadap ayah dan ibu dianggap sebagai
kejahatan tingkat pertama yang harus diganjari dengan hukuman mati. Dan juga dalam pengulangan perintah ini dalam Perjanjian Baru di mana baik Yesus
maupun Paulus memaknai perintah ini secara khusus bagi ayah dan ibu (Kel. 21:15, 17;
Im. 20:9; dan Ul. 21:18–21; 27:16).
Jadi ada dua hal
yang perlu ditegaskan ulang berkenaan dengan poin di atas, yaitu bahwa (a)
penghormatan terhadap orangtua harus dilakukan dalam bobot yang setara bagi
ayah dan ibu; dan (b) perintah ini
secara khusus berbicara mengenai sikap menghormati orangtua yaitu ayah dan ibu.
Pemaknaan bahwa perintah ini mencakup penghormatan terhadap otoritas yang lebih
luas tentu memiliki hubungan dengan perintah ini, namun tidak dapat dianggap
sebagai maksud kontekstual dari perintah ini. Hal ini akan dijelaskan lebih
lanjut dalam Bab IV, namun di sini kita perlu menegaskan prinsip ini dengan menyimak
apa dikemukakan Meyers bahwa orangtua adalah pemanggul otoritas yang darinya
anak-anak belajar untuk menghormati otoritas Tuhan.[21]
Dalam konteks kovenan (perjanjian),[22]
perintah ini sendiri memberikan signifikansi yang penting. Komentar berikut ini
menegaskan gagasan tersebut: “Penghormatan diberikan kepada orangtua sebagai
wakil-wakil otoritas Allah demi kepentingan pemeliharaan kovenan. Jika orangtua
tidak diperhatikan atau otoritas mereka diabaikan, maka itu berarti menempatkan
kovenan di dalam bahaya.”[23]
Dan ketiga, pemaknaan terhadap janji: “supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu”.
Menurut Enns, janji ini tidak bersifat individual, misalnya, jika seoarng anak
tidak menghormati orangtuanya, maka ia akan mati pada usia muda. Ingat bahwa
Dekalog diberikan dalam konteks perjalanan Israel menuju Kananaan, tanah
perjanjian itu. Itulah sebabnya, bagi Enns, janji ini berkaitan dengan janji
kovenan mengenai kepemilikan tanah (Kanaan) di mana hal penting yang ikut
menentukan jangka waktu kepemilikan tanah tersebut adalah pemenuhan terhadap
perintah menghormati orangtua. Enns menulis: “Janji ini bukan merupakan berkat
personal, melainkan sebuah berkat bagi umat untuk memiliki tanah di bawah
pemerintahan Allah dan menjadi terang bagi bangsa-bangsa.”[24]
Tafsiran Enns ini tepat karena di bagian awal Dekalog, memang telah terdapat
pernyataan kovenantal bahwa Israel adalah milik Tuhan dan bahwa Tuhan adalah sesembahan
mereka satu-satunya (bnd. Ul. 6:4-9). Itulah sebabnya, Walton, Matthews dan
Chavalas menyatakan: “…
perintah ini mendatangkan berkat kovenan: umur panjang di tanah perjanjian.”[25]
Tidak heran, ketika Israel hendak memasuki tanah perjanjian, yaitu Kanaan,
Dekalog kembali dikemukan untuk mengingatkan Israel bahwa keberadaan mereka di
tanah Kanaan sangat ditentukan oleh ketaatan mereka terhadap hukum-hukum
kovenan. Jika mereka menaatinya, mereka akan diberkati; jika mereka melanggar
hukum-hukum kovenan maka mereka akan dikutuk (lih. Ul. 5:16; dan ps. 28).[26]
Selanjutnya,
karena Ulangan 5:16 merupakan pengulangan dari Keluaran 20:12, maka penulis
akan langsung membahas pencantuman ulang perintah ini dalam Imamat 19:3.
Ulangan 19 juga merupakan pengulangan terhadap Dekalog walau dengan susunan
yang agak sporadis, tidak seperti susunan yang terdapat dalam Keluaran 20:1-17
dan Ulangan 5:6-21.[27]
Dalam konteks kitab Imamat, Hartley berkomentar bahwa sasaran pengaplikasian
dari perintah menghormati orangtua di sini diarahkan kepada pemeliharaan
terhadap mereka di masa tua.[28]
Lebih spesifik, Jacob Milgrom menyatakan bahwa Imamat 19 mengandung 16 perintah
yang dikaitkan secara khusus dengan panggilan untuk menjaga kekudusan hidup.
Artinya, menghormati orangtua di sini merupakan bagian memelihara kekudusan di
hadapan Tuhan.[29]
Milgrom menjelaskan bahwa dalam kitab Imamat, konsep kekudusan hidup umat Tuhan
dianggap sebagai perluasan dari natur Allah yang kudus. Maka, menghormati
orangtua di sini berarti merefleksikan natur kekudusan Tuhan sekaligus
memperlihatkan penghormatan terhadap status sebagai umat Tuhan yang harus hidup
kudus di hadapan-Nya.[30]
Akhirnya perlu
dikemukakan mengenai konteks penulisan Kitab-kitab Pentateukh. Kitab-kitab
Pentateukh tampaknya ditulis pada masa pembuangan, yakni ketika Israel berada
dalam pembungan ke Babel. Artinya, penulisan perintah ini memberikan
signifikansi untuk mengajak Israel merefleksikan kembali mengapa mereka dihukum
Tuhan dengan membawa mereka ke dalam pembuangan dan meninggalkan tanah
perjanjian. Salah satu sebabnya adalah karena mereka telah melanggar hukum
perjanjian ini. Itulah sebabnya, Durham benar ketika berkomentar bahwa hukum
kelima, dalam kaitan dengan konteks historisnya, mesti dibaca dalam kaitan
dengan Keluaran 21:15, 17; Imamat 20:9; dan Ulangan 21:18–21; 27:16 (teks-teks
ini akan dibahas dalam poin berikutnya).[31]
C. Hukum Kelima dan
Pendidikan Kristiani dalam Keluarga
Kita harus mengingat bahwa Dekalog diawali dengan
deklarasi teologis: “Akulah TUHAN, Allahmu,
yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel.
20:2). Deklarasi teologis ini menegaskan tentang sumber dari Dekalog itu
sendiri yaitu Tuhan dan karya penebusan Tuhan bagi Israel. Deklarasi
pendahuluan ini menyingkapkan tentang keagungan Allah sendiri. Bruce K. Waltke
dan Charles Yu menyatakan bahwa dalam kontkes perjanjian pada masa itu,
biasanya pernyataan pendahuluan dalam teks-teks perjanjian digunakan untuk
menkitai keagungan dari sang inisiator perjanjian.[32]
Artinya, jika Dekalog itu berasal atau bersumber dari Tuhan, maka tempat
terbaik untuk mulai memahami Dekalog tersebut adalah Tuhan sendiri. Dengan kata
lain, Dekalog menyingkapkan tentang karakter atau natur dari Tuhan yang
menyingkapkan diri-Nya dalam Alkitab.
Artinya, Dekalog yang tercatat dalam
Alkitab bukan sekadar hukum Musa,
melainkan hukum Allah sendiri. Allah
menyingkapkan kehendak-Nya melalui pewahyuan yang tampak dengan kemuliaan yang
luar biasa. Yesaya menulis, “TUHAN telah berkenan demi penyelamatan-Nya untuk
memberi pengajaran-Nya yang besar dan mulia” (42:21).
Fakta bahwa Dekalog merefleksikan
natur diri dan karya Allah sendiri berimplikasi pada aspek lain. Aspek yang
dimaksud adalah bahwa ketidaktaatan terhadap Dekalog merupakan ketidaktaatan
terhadap Allah sendiri dan merupakan suatu pemberontakan yang langsung tertuju
pada Allah sendiri. Setiap pelanggaran terhadap Dekalog merupakan sebuah
perlawanan terhadap natur Allah yang kudus dan berdaulat. Menurut Ryken,
mungkin inilah sebabnya mengapa Dekalog ditulis dengan jari Allah sendiri
sebagaimana yang tercatat dalam Keluaran 31:18; dan 32:16.[33]
Dalam hubungan dengan perintah
kelima yaitu perintah untuk menghormati orangtua, kita diingatkan bahwa Allah
bukan hanya menghendaki suatu relasi vertikal antara umat dengan diri-Nya
(hukum pertama – hukum keempat), melainkan juga menghendaki suatu relasi
horisontal antara sesama. Yohanes Calvin menyatakan, “Dekalog berguna untuk
kebaikan bersama dan menegakkan penghormatan akan Allah dan juga keteraturan
sosial.”[34] Dan relasi
horisontal ini diawali dengan relasi antara anak dan orangtuanya. Melalui
perintah untuk menghormati orangtua, kita belajar untuk menghormati otoritas.
Dan dengan belajar menghormati otoritas orangtua, kita mendapati suatu cerminan
mengenai otoritas Allah. Di dalam otoritas orangtua, terdapat otoritas Allah
karena otoritas orangtua didapatkan dari Allah sendiri yang telah memberikan
perintah tersebut. Orangtua adalah wakil Allah di dunia yang mengajar kita
tentang moralitas dan iman kepada Tuhan. Sebagai wakil Allah oratua bertindak
atas nama Allah dalam membesarkan, mendidik dan mengajar anak-anaknya. Melalui
menghormati orangtua, kita secara tidak langsung menghormati otoritas Tuhan.
Karena penghormatan itu dilakukan atas dasar perintah yang berasal dari Tuhan
sendiri.[35]
Dalam teologi PL, pelanggaran
terhadap Taurat memiliki dampak pada kelangsungan kovenan antara Allah dan
Israel. Berkat dan kutuk terhadap Israel ditentukan oleh ketaatan mereka
terhadap Taurat. Itulah sebabnya, dalam rangka menjaga sterilitas komunitas
umat Allah dalam PL, setiap pelanggaran terhadap perintah kelima dianggap
sebagai pemberontakan terhadap kovenan antara Allah dan Israel, maka orang yang
bersangkutan harus dihukum mati.[36]
Menurut t.seb. 3:6, ketidakhormatan terhadap
orangtua sebenarnya didahului oleh ketidakhormatan terhadap Tuhan. Bahkan
menurut t. Arakin, kata-kata lebih
penting dari tindakan, maka anak-anak yang mengutuki orangtuanya harus dihukum
mati sebagaimana jika mereka memukuli orangtua mereka (bnd. b.Sanh. 85b; m.Sanh. 7:4). Itulah sebabnya, para Rabbi terlibat dalam perdebatan
mengenai bentuk persis dari pengutukan terhadap orangtua. Bagi beberapa Rabbi,
pengutukan itu terjadi ketika nama Tuhan digunakan; sedangkan bagi sebagian
lagi pengutukan itu sudah terjadi bahkan ketika seseorang menggunakan ungkapan
pelembut (y.Sanh. 7:11; m.Sanh. 7.8; Tg. Ps.-J. Exod. 21:17; b.
Sebu. 35a). Juga mereka berdebat apakah hukuman mati itu dilakukan jika
pengutukan ditujukan kepada ayah dan ibu sekaligus atau hanya salah satunya
saja (b.Hul. 78b; ib.Sebu. 27a-b; b.Sanh. 66a; b.B.Mesia
94b-95a). Selanjutnya, menurut Genesis
Rabah 36:6, tindakan Ham yang tidak menghormati Nuh menyebabkan pembuangan
orang-orang Mesir dan Ethiopia ke Asyur (mengutip Yes. 20:4). Dan kegagalan
Israel dalam menghormati orangtua mereka merupakan alasan utama di balik
ratapan Yeremia mengenai malapetaka (Pesiq.
Rab Kah. 13:8). Dalam Seder Eliyahu
Rabbah, dikatakan bahwa ketetapan penghakiman yang pasti akan menimpa anak-anak
yang tidak sungguh-sungguh memperhatikan orangtua mereka. Mereka bahkan bila
perlu mengemis untuk menafkahi orangtua mereka (26:24 – 27:5).[37]
Penekanan ini terlihat
juga dengan jelas dalam perjanjian baru, Misalnya
dalam komentarnya terhadap Matius 5:1-9, Matthew Henry menyatakan:
Ia yang mengutuki ayahnya atau ibunya, ia
pasti mati: ini hukum yang kita punyai, Kel 21:17. Dosa mengutuki orang
tua di sini dikontraskan dengan kewajiban untuk menghormati mereka. Mereka yang
berbicara buruk tentang orang tua mereka, atau mengharapkan
yang buruk tentang mereka, yang mengejek mereka, atau memberi mereka
kata-kata yang mencela atau mengejek dan menghina, melanggar hukum ini. Jika
menyebut seorang saudara raca bisa
dihukum, maka bagaimana dengan menyebut ayahnya demikian?[38]
Demikian pula Yohanes Calvin mengingatkan mengenai
pentingya perintah ini ditaati bagi anak-anak terhadap orangtuanya:
Sementara Tuhan menjanjikan
berkat dari kehidupan ini kepada anak-anak yang menghormati orang tua mereka
dengan seharusnya, pada saat yang sama Ia menunjukkan secara tidak
langsung bahwa suatu kutuk yang tidak terhindarkan mengancam semua anak-anak
yang keras kepala dan tidak taat. Untuk menjamin bahwa perintah atau hukum ini
dilaksanakan, melalui hukum ini Ia telah menyatakan mereka
sebagai sasaran dari hukuman mati, dan memerintahkan supaya mereka menjalani
hukuman. Jika mereka lolos dari penghakiman itu, Ia sendiri akan membalas
mereka dengan satu dan lain cara. ... Sebagian orang bisa lolos dari hukuman
sampai usia yang sangat tua. Tetapi dalam hidup ini mereka kehilangan berkat
Allah, dan hanya bisa merana secara menyedihkan, disimpan untuk penghukuman
yang lebih besar yang akan datang.[39]
Perintah untuk menaati
orang tua adalah perintah yang teramat sangat penting dalam sebuah keluarga
Kristen, bahkan seperti yang sudah dijelaskan bahwa perintah ini tidak hanya
mencakup kepada kelangsungan sebuah keluarga saja tetapi juga kepada
kelangsungan hidup suatu bangsa.
Jika demikian maka sudah
sepatutnya sebuah pendidikan di dalam keluarga harus menekankan kepada
penghormatan kepada orang tua. Karena tanpa penghormatan kepada orang tua maka
itu akan mengakibatkan penghukuman Tuhan yang akan sangat besar, dan juga penghormatan
kepada orang tua akan membawa berkat yang juga besar.
Tetapi
hal ini tidak serta merta membuat setiap anak harus mentaati orang tuanya
secara membabi buta, karena pada faktanya ada kasus di mana sebagaimana ada anak-anak yang memberontak terhadap orangtuanya,
demikian pula dalam kenyataan kita sering berhadapan dengan orangtua-orangtua
yang tidak berlaku atau bersikap sebagaimana seharusnya. Mereka bahkan
memperlihatkan sikap yang tidak layak dihormati sama sekali. Misalnya mereka
melakukan kejahatan, memukuli anak-anaknya secara berlebihan, dan lain
sebagainya. Intinya, mereka tidak menjadi teladan bagi anak-anak mereka. di sini menimbulkan pertanyaannya, apakah orangtua-orangtua seperti tetap
harus dihormati oleh anak-anak-Nya?
Di sini, kita harus membedakan antara menghormati dan tindakan spesifik
sebagai bagian dari menghormati yaitu menuruti
atau menaati. Mengenai menghormati, jelas ini merupakan sesuatu
yang mutlak dalam segala kondisi, tidak peduli apa dan bagaimana pun orantua
kita bersikap atau bertingkah laku. Kita harus tetap memperlakukan mereka
sebagai orangtua dan memperlihatkan sikap serta tutur kata yang hormat terhadap
mereka. Namun, untuk menaati apa pun
yang mereka katakana atau perintahkan, anak-anak diharuskan untuk
mempertimbangkannya dalam konteks otoritas atau kehendak Allah secara
keseluruhan sebagai penentu mutlaknya.[40]
Sedangkan bagi orangtua yang belum percaya, anak-anak harus tetap
memperlihatkan sikap hormat terhadap mereka. Anak-anak harus memperlihatkan
sikap yang patut dan terpuji terhadap mereka. Namun, tatkala orangtua menuntut
anak-anak untuk terlibat dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan,
misalnya terlibat dalam ritual-ritual yang jelas berkaitan dengan penyembahan
berhala, anak-anak harus dengan tegas menyatakan bahwa mereka lebih memilih
taat kepada Allah ketimbang taat kepada adat istiadat nenek moyang yang ada.[41]
D. Kesimpulan
Tulisan ini dimulai dengan penekanan
kepada betapa pentingnya pendidikan Agama Kristen di dalam keluarga yang akan membentuk seperti
apa kepribadian seseorang dan juga kepribadian dan kemajuan suatu bangsa.
Gereja dan orang tua harus terus memberikan perhatian yang besar kepada
pendidikan di dalam keluarga ini agar tercipta generasi-genarsi bangsa dan Gereja
yang bermoral dan memiliki iman yang teguh.
Pentingnya peranan pendidikan
Kristen di dalam keluarga ini terlihat dalam komentar T.S. Eliot
menyatakan bahwa tujuan pendidikan Kristen bukan sekadar membuat seseorang
menjadi seorang Kristen yang saleh. Pendidikan Kristen haruslah terutama
mengajar para nara didiknya
(baca:anak) untuk mampu memiliki wawasan dunia Kristen.[42] Senada
dengan Eliot, Dockery menyatakan juga bahwa pendidikan Kristen “lebih dari sekadar integrasi antara
iman dan pembelajaran, ia melibatkan juga integrasi antara iman dan kehidupan.”[43]
Pengajaran-pengajaran yang berlandaskan iman Kristen ditransfer dan
diintegrasikan kepada anak-anak,
sehingga mereka dipersiapkan untuk menjalani kehidupan yang memuliakan Tuhan.
Dengan demikian, kehidupan mereka menjadi manifestasi dari pemerintahan Allah.[44]
Dengan menyadari betapa penting dan
strategisnya pendidikan Kristen ini, maka pendidikan Kristen harus menjadi
pendidikan yang memiliki dampak secara global, dan itu harus dimulai dari
sebuah unit terkecil di dalam Gereja, Masyrakat dan Bangsa yaitu keluarga.
Dan berdasarkan kepada penguraain
penulis di atas, maka salah satu penekanan penting dari pendidikan di dalam
keluarga adalah penekanan kepada hukum kelima dari sepuluh hukum yaitu perintah
untuk menghormati orang tua karena orang tua adalah wakil Tuhan yang diberikan
otoritas langsung dari Tuhan. Penolakan dan ketidaktaatan kepada hukum ini
bukan hanya mengakibatkan penghukuman kepada yang bersangkutan tetapi juga
kepada komunitas yang lebih besar yaitu bangsa dan Gereja.
Dengan
menyadari bahwa setiap elemen terutama keluarga menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dalam proses pembentukan dan penanaman karakter melalui pendidikan
nilai dan pendidikan agama, maka sudah sepatutnya Gereja perlu
menanamkan pendidikan Kristiani di dalam keluarga melalui penekanan terhadap
penghormatan kepada orang tua.
[1] Walter H. Norvell, “The Great
Commission Imperative of Teaching: Why Christian Education Should Be On the
Cutting Edge of the Church’s Mission Today,” in Journal for Baptist Theology and Ministry, Vol. I, No. 2 (2003):
94.
[2] Jack D. Terry, Jr., “God as
Teacher,” in The Teaching Ministry of the
Church, ed. Daryl Eldridge (Nashville: Broadman & Holman, 1995), 6.
[3]
Norman E. Harper, Making
Disciples, (Memphis, Tennessee: Christian Studies Center, 1981), pp.95-97
[6] Mengenai sebutan teknis lainnya,
lih. Carol Meyers, Exodus (The New
Cambridge Bible Commentary; Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 163.
[7] Salah satu isu kritis lain yang
menimbulkan diskusi hangat di kalangan para penafsir adalah mengenai tempat
atau posisi dari Dekalog dalam kitab Keluaran. Kapankah “Allah mengucapkan
segala firman ini” dalam Keluaran 20:1? Menurut Keluaran 19, hal itu harusnya
terjadi sebelum Musa turun dari atas
gunung Sinai. Artinya, Keluaran 20:1 seharusnya, secara kronologis, terjadi
sebelum Keluaran 19:25. Pertanyaannya, mengapa justru Keluaran 20:1-17
dipisahkan bahkan ditempatkan sesudah urutan kronologis yang sebenarnya?
Mengenai isu ini, penulis sependapat dengan penafsir yang menyatakan bahwa
Keluaran 20:1-17 dipisahkan dari urutan kronologis yang sebenarnya untuk
diberikan penekanan khusus oleh penulis kitab ini, lih. Peter Enns, Exodus (The NIV Application Commentary;
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2000), 411-412. Isu lainnya yang
didiskusikan berkenaan dengan Dekalog adalah natur literernya, yang dapat
dibaca dalam: Tremper Longman III and Raymon B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (2nd edition; Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2006), 75-76.
[8] Lih. pembahasannya dalam: Philip
Graham Ryken, Written in Stone: The Ten
Commandments and Today’s Moral Crisis (Wheaton, Illinois: Crossway Books,
2003), 118.
[9] Meyers mengusulkan pembagian
yang sedikit berbeda. Menurutnya, hukum pertama – hukum kelima membentuk
kelompok tersendiri berdasarkan terkandungnya penyebutan nama TUHAN di
dalamnya, sedangkan hukum keenam – hukum kesepuluh disendirikan karena di
dalamnya tidak terkandung penyebutan nama TUHAN. Meyers kemudian memberikan
tafsiran menarik bahwa hukum kelima dapat dimasukkan ke dalam perintah-perintah
berkait sikap terhadap Tuhan sekaligus sikap terhadap manusia karena orang
hanya dapat belajar tentang menghormati otoritas Tuhan bila ia belajar
menghormati otoritas orangtuanya. Lih. Exodus,
164. Pembagian yang umumnya beredar di kalangan orang-orang Kristen adalah
bahwa hukum-hukum ini dapat dibagi menjadi dua di mana hukum pertama – hukum
keempat berbicara mengenai tanggung jawab terhadap Tuhan, sedangkan hukum
kelima – hukum kesepuluh berbicara mengenai tanggung jawab terhadap sesama,
lih. Terence Fretheim, Exodus
(Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching; Louisville,
Kentucky: John Knox, 1991), 231.
[10] Hagith Sivan, Between Woman, Man, and God: A New
Interpretation of the Ten Commandments (New York: T.&T. Clark
International, 2004), 108.
[11] Bruce K. Waltke and Charles Yu, An Old Testament Theology: An Exegetical,
Canonical, and Thematic Approach (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2007),
425.
[12] Lih. “dbeK',” in BDB Lexicon [Software version of
BibleWorks6].
[13] Waltke and Yu, An Old Testament Theology: An Exegetical,
Canonical, and Thematic Approach, 425.
[14] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis,
119.
[15] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis,
119; bnd. Sivan, Between Woman, Man, and
God: A New Interpretation of the Ten Commandments, 109.
[16] J.I. Packer, Keeping the 10 Commandments (Wheaton,
Illinois: Crossway Books, 2007), 74.
[17] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis,
120.
[18] John I. Durham, Exodus,
(Software version of Word Biblical Commentary, Vol. 3; Dallas, Texas: Word
Books Publisher, 1998); juga Ryken, Written
in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis, 120-121.
[19] Dikutip dalam: Philip Graham
Ryken, Exodus: Saved for God’s Glory
(Wheaton, Illinois: Crossway Books, 2005), 606.
[20] Ryken, Exodus: Saved for God’s Glory, 606-608.
[21] Meyers, Exodus, 164.
[22] Dekalog merupakan bagian dari
aturan-aturan kovenan yang mengatur hubngan antara Allah dan umat-Nya.
Perintah-perintah ini diberikan bukan supaya Israel menjadi umat Allah,
melainkan sebaliknya diberikan agar Israel yang sudah menjadi umat Allah
berperilaku sesuai statusnya. Lih. Wolfgang Wegert, The Law of Freedom: An Interpretation fo the Ten Commandments
(Hamburg: Ache-Medien Hamburg, 2005), 38-46.
[23] John H. Walton,
Victor H. Matthews, and Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background
Commentary: Old Testament (Software version; Downers Grove, Illinois:
InterVarsity Press, 2000).
[24] Enns, Exodus, 421.
[25]Walton,
Matthews, and Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament
[Software version].
[26] Nama kitab Ulangan, Deuteronomy, secara literal berarti “hukum
kedua” dalam pengertian “pengulangan” dari hukum yang pertama. Lebih tepat,
kitab ini mengandung versi kedua atau versi pengulangan dengan sejumlah variasi
yang dikemukakan beberapa saat sebelum Israel memasuki Kanaan yang juga
sekaligus menandai berakhirnya masa kepemimpinan Musa dan dialihkan kepada
kepemimpinan Yosua. Kitab ini juga menempati posisi sentral dalam teologi
Perjanjian Lama, di mana sejarah Israel selanjutnya disebut Sejarah
Deoteronomistik, yakni bahwa perilaku serta nasib Israel ditentukan berdasarkan
ketetapan mengenai berkat dan kutuk kovenan yang dikumandangkan kembali di
dalam kitab ini. Lih. Longman and Dillard, An
Introduction to the Old Testament, 102, 104-109.
[27] Lih. susunan
paralel antara Dekalog dalam Keluaran, Ulangan, dan Imama 19 yang dikemukakan
dalam: John E. Hartley, Leviticus, (Software version of Word Biblical
Commentary, Vol. 4; Dallas, Texas: Word Books Publisher, 1998).
[28] Hartley, Leviticus [Software version].
[29] Lih. Jacob Milgrom, “The
Changing Concept of Holiness in the Pentatheucal Codes with Emphasis on
Leviticus 19,” in John F.A. Sawyer (ed), Reading
Leviticus: A Conversation with Mary Douglas (Sheffield: Sheffield Academic
Press, 1996), 72.
[30] Milgrom, “The Changing Concept
of Holiness in the Pentatheucal Codes with Emphasis on Leviticus 19,” 65-66.
[31] Durham, Exodus
[Software version].
[32] Bruce K. Waltke and Charles Yu, An Old Testament Theology: An Exegetical,
Canonical, and Thematic Approach (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2007),
409.
[33] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis,
17.
[34] Dikutip dalam: David Weiss
Halivni, Midrash, Misnah, and Gemara: The
Jewish Predilection for Justified Law (Cambridge: Harvard University Press,
1986), 7.
[35] Ryken, Written in Stone: The Ten Commandments and Today’s Moral Crisis,
15.
[36] Lih. eksegesis penulis dalam Bab
III.
[37] Rikk E. Watts, “Mark,” in Commentary on the New Testament Use of the
Old Testament, 169.
[38] Matthew Henry, Matthew Henry’s Commentary [Software
version of BibleWorks6]. Sebagai catatan, kata raca yang dihurufmiringkan di atas diambil dari Matius 5:22 yang
dalam LAI-ITB diterjemahkan dengan kata “kafir”.
[39] John Calvin, Institutes of the Christian Religion,
ed. John T. McNeill, trans. Ford Lewis Battles, 2 Vols, Library of Christian
Classics 20-21 (Philadelphia: Westminster, 1960), II. VIII. 38.
[40] Bnd. Wegert, The Law of Freedom: An Interpretation of the
Ten Commandments, 96-97. bnd Kisah dalam 1 Samuel 14 kisah mengenai Saul, Daud
dan Yonatan, di mana Yonatan memilih untuk tidak menaati orang tuanya karena
orang tua telah melanggar perintah Allah.
[41] Di Indonesia terdapat sejumlah
ritual yang dianggap mencerminkan prinsip menghormati orangtua. Misalnya di
Kalimantan Tengah, ada ritual penghormatan orangtua yang sudah meninggal yang dikenal
dengan sebutan Mahamba Olo Bakas. Ritual ini sarat unsur penyembahan berhala,
namun anak-anak yang masih hidup tidak dapat menolak untuk tidak terlibat di
dalamnya, entah yang sudah Kristen maupun yang belum Kristen.
[42] T.S. Eliot, Christianity and Culture (New York: Horcourt Brace, 1940), 22.
[43] Dockery, “The Great Commandment:
A Paradigm for Christian Higher Education,” 55.
[44] Roland G. Kuhl, “The Reign of
God: Implications for Christian Education,” in Christian Education Journal 1 (1997): 83.
0 Response to "Dekalog Ke-5"
Post a Comment