Gunung Burake, Tana Toraja 06 September 2019 "Melawan Matahari" By Made Suardana
photo melawan matahari
(Dr. I Made Suardana, M. Th)
Seorang mahasiswa atau tepatnya mantan mahasiswa,
yang dalam perjuangan luar biasa bisa menyelesaikan studinya meskipun tidak
tepat waktu, karena baginya waktu bukanlah soal batas, tetapi adalah kisah yang
harus dituliskan dalam kesungguhan menuntaskan apa yang sudah dimulai. Suatu
hari pada suatu pagi seorang sahabat yang juga rekan dosen menyampaikan bahwa
ada hal luar biasa yang dia lakukan, mengapa luar biasa karena memang suatu hal
yang diluar nalar akademis juga pasti diluar kesadaran rasa, namun bagi saya
hal itu masih dalam analisis filosofis yang juga masih menyisakan ruang tanya,
apapun pertanyaaannya, sudah tentu sebuah pertanyaan seharusnya ada jawabannya
meskipun itu berarti sebuah keanehan, dan pada dasarnya keanehan tersebut sirna
dengan sendirinya ketika jawaban sudah ada.
Dalam keingintauannya yang tinggi dan harapan
yang besar mencari jawaban apakah matahari itu panas?, spontan saya agak
tertawa, dan sejenak pula saya merenung mendengar kisah ini, sembari terbersit
sebuah premis bahwa sebuah data empiris selalu mengartikan sebuah fakta
empiris, sehingga tersedianya data bisa jadi belum cukup untuk mengungkap
fakta, dan sebuah fakta dengan sendirinya adalah sebuah data. Apakah matahari
itu panas? Maka dalam kesederhanaan metode yang dibangunnya, dibuatlah
pendekatan riset yang bersifat eksperimen dengan asumsi bahwa belum tentu
matahari itu panas, meskipun dalam nalar universal telah menempatkan bahwa
matahari itu panas. Tahapan selanjutnya adalah menempatkan dirinya sendiri
sebagai instrumen kunci sekaligus sebagai informan kunci untuk menguji secara
langsung dengan berhadapan melawan matahari sejak matahari terbit di hari itu,
dengan memaksimalkan tidak ada halangan atau sejenisnya yang akan mengurangi
terpaan data yang datang bertubi tubi ke arahnya. Dengan terus berdiri mematung
sambil wajah terus menatap pada matahari, detik demi detik pun berlalu dan
tidak terasa data yang telah terkumpul pun semakin menegaskan fakta bahwa
matahari itu panas, namun kekuatan data tersebut baginya belum tuntas
menegaskan fakta akan kebenaran bahwa matahari itu panas, sejenak dia mengambil
kaca mata hitamnya dan sembari tetap berdiri menggunakan kaca matanya dan terus
memandang matahari.
Pada suatu titik akhirnya ia pun menyerah dan
bergegas mencari tempat perlindungan yang dapat melindunginya dari paparan
sinar matahari. Dalam kesadarannya ia pun menyimpulkan bahwa matahari itu
memang panas, dengan keyakinan dan rasa percaya yang tinggi pada kualitas data
yang ia miliki dan fakta yang dialami bahwa kulit wajah dan kulit bagian
tubuhnya tersengat panasnya sinar matahari. Selanjutnya dia kembali melakukan
hal hal lainnya yang terluput dari pemantauan saya. Bagi sebagian orang mungkin
itu sebuah kekonyolan, tapi bagi saya ada sisi yang sangat penting untuk dikaji
keluhurannya bahwa, perspektif orang lain sering membentuk siapa diri kita, dan
sering perspektif kita dimatikan oleh argumentasi nalar universal yang bisa
saja belum menjamin adanya kebenaran dan keluhuran asali yang menjawab kebutuhan
konteks kedirian kita.
Saya percaya bahwa melawan matahari untuk
membuktikan bahwa matahari itu panas bukan sekedar upaya membangun kesadaran
nalar epistemologi semata, namun wujud kemandirian bernalar tanpa adanya budaya
kompromis dan pesimis yang akan senantiasa menyudutkan pikiran pada alibi
kebohongan dan yang membentuk mentalitas penjilat. Saya memahami bahwa ketika
saya telah menetapkan untuk melakukan sesuatu bisa saja saya tidak
melakukannya, mengapa? Jawabannya tentu tidak begitu sederhana, bisa saja akan
mengurai jawaban yang begitu panjang, lebar, luas dan dalam, juga bisa singkat,
padat dan jelas, juga bisa tidak jelas, dalam hal inilah saya ingin membuktikan
bahwa nalar universal akan senantiasa terhubung dengan nalar personal sehingga
dalam dimensi keutuhan tersebut akan melahirkan argumentasi kebebasan dalam
keharmonian sebagai naturnya. Setiap keputusan apapun itu bentuk dan
realisasinya, adalah sebuah keadaan yang bersifat sementara dalam makna
keberlanjutan yang utuh, yang tidak akan pernah berarti bisa berdiri sendiri.
Karena itu apapun yang menjadi kekuatan nalar universal sejalan dengan itu
harus juga menghargai kekuatan nalar personal yang sifatnya berimbang, karena
itu pola argumentasi keberlanjutan yang utuh menjadi realisasi bersikap dan
berprilaku.
Mantan mahasiswa saya yang melawan matahari saya
pahami ia sedang ada dalam dimensi menyelaraskan nalar personal dalam
argumentasi utuh nalar universal sebagai sebuah keberlanjutan yang utuh.
Salam hormat saya buat akil, demikian namanya
saya panggil.
Di Gunung Burake, Tana Toraja 06 September 2019
Editor : Rifky Chistian
0 Response to "Gunung Burake, Tana Toraja 06 September 2019 "Melawan Matahari" By Made Suardana"
Post a Comment