Gunung Burake, Tana Toraja 06 September 2019 "Melawan Matahari" By Made Suardana


https://dhesemchistiankadang.blogspot.com/
photo melawan matahari
(Dr. I Made Suardana, M. Th)
Seorang mahasiswa atau tepatnya mantan mahasiswa, yang dalam perjuangan luar biasa bisa menyelesaikan studinya meskipun tidak tepat waktu, karena baginya waktu bukanlah soal batas, tetapi adalah kisah yang harus dituliskan dalam kesungguhan menuntaskan apa yang sudah dimulai. Suatu hari pada suatu pagi seorang sahabat yang juga rekan dosen menyampaikan bahwa ada hal luar biasa yang dia lakukan, mengapa luar biasa karena memang suatu hal yang diluar nalar akademis juga pasti diluar kesadaran rasa, namun bagi saya hal itu masih dalam analisis filosofis yang juga masih menyisakan ruang tanya, apapun pertanyaaannya, sudah tentu sebuah pertanyaan seharusnya ada jawabannya meskipun itu berarti sebuah keanehan, dan pada dasarnya keanehan tersebut sirna dengan sendirinya ketika jawaban sudah ada. 

https://dhesemchistiankadang.blogspot.com/

Dalam keingintauannya yang tinggi dan harapan yang besar mencari jawaban apakah matahari itu panas?, spontan saya agak tertawa, dan sejenak pula saya merenung mendengar kisah ini, sembari terbersit sebuah premis bahwa sebuah data empiris selalu mengartikan sebuah fakta empiris, sehingga tersedianya data bisa jadi belum cukup untuk mengungkap fakta, dan sebuah fakta dengan sendirinya adalah sebuah data. Apakah matahari itu panas? Maka dalam kesederhanaan metode yang dibangunnya, dibuatlah pendekatan riset yang bersifat eksperimen dengan asumsi bahwa belum tentu matahari itu panas, meskipun dalam nalar universal telah menempatkan bahwa matahari itu panas. Tahapan selanjutnya adalah menempatkan dirinya sendiri sebagai instrumen kunci sekaligus sebagai informan kunci untuk menguji secara langsung dengan berhadapan melawan matahari sejak matahari terbit di hari itu, dengan memaksimalkan tidak ada halangan atau sejenisnya yang akan mengurangi terpaan data yang datang bertubi tubi ke arahnya. Dengan terus berdiri mematung sambil wajah terus menatap pada matahari, detik demi detik pun berlalu dan tidak terasa data yang telah terkumpul pun semakin menegaskan fakta bahwa matahari itu panas, namun kekuatan data tersebut baginya belum tuntas menegaskan fakta akan kebenaran bahwa matahari itu panas, sejenak dia mengambil kaca mata hitamnya dan sembari tetap berdiri menggunakan kaca matanya dan terus memandang matahari. 


Pada suatu titik akhirnya ia pun menyerah dan bergegas mencari tempat perlindungan yang dapat melindunginya dari paparan sinar matahari. Dalam kesadarannya ia pun menyimpulkan bahwa matahari itu memang panas, dengan keyakinan dan rasa percaya yang tinggi pada kualitas data yang ia miliki dan fakta yang dialami bahwa kulit wajah dan kulit bagian tubuhnya tersengat panasnya sinar matahari. Selanjutnya dia kembali melakukan hal hal lainnya yang terluput dari pemantauan saya. Bagi sebagian orang mungkin itu sebuah kekonyolan, tapi bagi saya ada sisi yang sangat penting untuk dikaji keluhurannya bahwa, perspektif orang lain sering membentuk siapa diri kita, dan sering perspektif kita dimatikan oleh argumentasi nalar universal yang bisa saja belum menjamin adanya kebenaran dan keluhuran asali yang menjawab kebutuhan konteks kedirian kita. 

https://dhesemchistiankadang.blogspot.com/

Saya percaya bahwa melawan matahari untuk membuktikan bahwa matahari itu panas bukan sekedar upaya membangun kesadaran nalar epistemologi semata, namun wujud kemandirian bernalar tanpa adanya budaya kompromis dan pesimis yang akan senantiasa menyudutkan pikiran pada alibi kebohongan dan yang membentuk mentalitas penjilat. Saya memahami bahwa ketika saya telah menetapkan untuk melakukan sesuatu bisa saja saya tidak melakukannya, mengapa? Jawabannya tentu tidak begitu sederhana, bisa saja akan mengurai jawaban yang begitu panjang, lebar, luas dan dalam, juga bisa singkat, padat dan jelas, juga bisa tidak jelas, dalam hal inilah saya ingin membuktikan bahwa nalar universal akan senantiasa terhubung dengan nalar personal sehingga dalam dimensi keutuhan tersebut akan melahirkan argumentasi kebebasan dalam keharmonian sebagai naturnya. Setiap keputusan apapun itu bentuk dan realisasinya, adalah sebuah keadaan yang bersifat sementara dalam makna keberlanjutan yang utuh, yang tidak akan pernah berarti bisa berdiri sendiri. Karena itu apapun yang menjadi kekuatan nalar universal sejalan dengan itu harus juga menghargai kekuatan nalar personal yang sifatnya berimbang, karena itu pola argumentasi keberlanjutan yang utuh menjadi realisasi bersikap dan berprilaku.
Mantan mahasiswa saya yang melawan matahari saya pahami ia sedang ada dalam dimensi menyelaraskan nalar personal dalam argumentasi utuh nalar universal sebagai sebuah keberlanjutan yang utuh.

https://dhesemchistiankadang.blogspot.com/

Salam hormat saya buat akil, demikian namanya saya panggil.
Di Gunung Burake, Tana Toraja 06 September 2019



Editor : Rifky Chistian

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Gunung Burake, Tana Toraja 06 September 2019 "Melawan Matahari" By Made Suardana"

Post a Comment